Jayapura : Asmiati Malik, seorang kandidat doktor dari Birmigham University mengungkapkan adanya kemiskinan yang sangat memprihatinkan dibalik masyhurnya Raja Ampat, lokasi diving paling terkenal di dunia.

Selama Asmiyati melakukan riset doktoralnya di Raja Ampat, ia tinggal di Kepulauan Mainyafun, berjarak 4 jam menggunakan kapal motor dari pulau Waisai. Mainyafun dihuni oleh 55 keluarga. Masing-masing keluarga memiliki 9-12 anggota keluarga.

Asmiyati, mengatakan risetnya mengkonfirmasi 20 persen dari 45.000 jiwa penduduk Raja Ampat hidup di bawah garis kemiskinan.

“Mereka ini tidak punya akses ke pendidikan, layanan kesehatan dan pasar,” kata Asmiyati mengenai kesimpulan risetnya.

Selain itu, lanjutnya, data 2015 menunjukkan rata-rata sebuah keluarga dengan empat hingga lima anggota keluarga menghabiskan lebih dari 800 ribu rupiah untuk makanan dan kebutuhan lainnya. Angka ini lebih tinggi 10 persen dari rata-rata nasional yang disebabkan oleh tingginya biaya hidup di kepulauan ini.

Mainyafun, seperti beberapa tempat lainnya di Raja Ampat tidak punya sumber pengolahan air bersih. Air bersih didatangkan dari Waisai, pulau dimana banyak elit lokal dan pemilik cottage tinggal.

“Kadang-kadang air didatangkan dua kali dalam sebulan, bahkan bisa sekali dalam dua bulang,” kata Asmiyati.

Masyarakat setempat kadang mengkonsumsi air hujan. Walaupun ada air yang dialirkan dari gunung ke pusat kampung namun air itu mengandung mineral yang sangat tinggi.

“Tak ada listrik dan sinyal telepon. Sebagian besar penduduk di Kepulauan Mainyafun mengatakan pendidikan adalah hal yang sangat mewah. Mereka hanya sanggup sekolah hingga tamat Sekolah Dasar yang secara kebetulan menjadi satu-satunya level sekolah yang tersedia,” lanjut Asmiyati.

Jika mereka ingin melanjutkan sekolah, mereka harus pergi ke Waisai. Perjalanan ke Waisai membutuhkan biaya lebih dari satu juta rupiah sekali jalan.

“Empat jam naik perahu fiber dari Mainyafun. Kadang tidak ada peralatan keselamatan,” ujar Asmiyati.

Save

Facebook Comments Box