Stanley

Stanley

Jakarta : Dewan Pers menyatakan aspek ekonomi merupakan hal yang paling besar mengintervensi kemerdekaan pers di Indonesia sepanjang tahun 2015.

“Aspek ekonomi lebih besar memberikan intervensi ke ruang-ruang redaksi dibandingkan aspek politik dan lain-lain,” ujar anggota Dewan Pers Ratna Komala, dalam konferensi pers Indeks Kemerdekaan Pers 2015, di Jakarta, Rabu (19/10/2016).

Ratna mengatakan berdasarkan hasil penelitian Indeks Kemerdekaan Pers yang dilakukan Dewan Pers di 24 provinsi pada 2015, diketahui bahwa media massa di daerah banyak yang hidupnya sangat tergantung dari sumber dana iklan pemerintah daerah.”Ini menjadi salah satu kendala khas media daerah,” kata Ratna.

Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo mengemukakan pihaknya akan mendorong asosiasi perusahaan media baik televisi, cetak maupun elektronik untuk yang menjadi anggotanya membuat suatu kebijakan untuk menghindari pencemaran kebijakan ruang redaksi oleh hal-hal yang bersifat advetorial atau iklan.

“Dewan Pers tentu tidak bisa mengintervensi pemilik media, namun Dewan Pers bisa mengintervensi ruang redaksi melalui asosiasi media,” kata Yoseph yang akrab disapa Stanley.

Berdasarkan data Indeks Kemerdekaan Pers yang dilansir Dewan Pers, kebebasan pers di tanah air pada 2015 secara umum dapat dikatakan berstatus agak bebas.

Menurut peneliti sekaligus penanggung jawab Indeks Kemerdekaan Pers 2015 Anton Prajatso, status ini tidak buruk namun juga tidak baik.”Posisi agak bebas ini artinya tidak buruk namun juga tidak baik. Posisi agak bebas terjadi karena kebebasan dari negara relatif terlembaga namun persoalan akses sejumlah komunitas terhadap media masih buruk,” jelas Anton.

Sementara itu dari segi kualitasnya kemerdekaan pers masih dibayangi persoalan kemandirian dari kepentingan kuat, intervensi pemilik bisnis pers terhadap rapat redaksi dan tata kelola perusahaan termasuk didalamnya tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah. (*)

Facebook Comments Box