Agis Sitanggang dari Komunitas SAKU saat mendongeng bagi anak-anak SD YPK Rondepi.

Minat baca atau literasi di Papua masih sangat rendah. Hal ini menggugah seorang Jurnalis Radio di Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Agis Sitanggang, membentuk Komunitas dengan nama SAKU (Saya Suka Buku).  Komunitas ini berkomitmen meningkatkan budaya membaca bagi anak-anak di wilayah itu, terutama siswa Sekolah Dasar. Berikut kisahnya.

BERPROFESI sebagai seorang jurnalis radio, saya mempunyai banyak cara menggali informasi dari beberapa tokoh pemerintahan kampung dan masyarakat terkait masalah, termasuk di bidang pendidikan. Beberapa kali melakukan liputan ke kampung-kampung di Kepulauan Yapen, saya merasa tergugah untuk mendorong minat membaca bagi para siswa Sekolah Dasar.

Atas dasar itulah, saya membentuk sebuah komunitas yang  saya namai SAKU (Saya Suka Buku). Memperoleh relawan yang sejalan, terbilang sulit. Itu tantangan awal membentuk komunitas ini. Apalagi, kegiatan sosial yang dilakukan memang tidak sama sekali menghasilkan dana. Ini hanya semata niat tulus mendorong saya bagi kemajuan pendidikan.

Seorang anak SD YPK Rondepi membaca di hadapan Komunitas SAKU dan teman-temannya.

Dengan media sosial yang sangat banyak manfaatnya seperti facebook dan instagram, kegiatan SAKU yang hanya digerakkan saya seorang diri mendapatkan uluran tangan dari beberapa pemuda yang sanggup membantu SAKU. Mereka berasal dari komunitas fotografer di Serui yakni Serui Fotografi. Hal yang tidak mudah mencoba merangkul para pemuda ini. Sebab, selain berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara, mereka juga rata-rata kepala keluarga. Namun kembali pada niat yang sejalan, niat mendukung kemajuan pendidikan di Tanah Kelahiran mereka, kami pun bekerja sama.

Saya membentuk Komunitas SAKU ini karena terpanggil oleh rasa iba terhadap anak-anak Sekolah Dasar, khususnya di perkampungan di Kepulauan Yapen. SAKU awalnya hanya mendistribusikan buku dengan dana seadanya dari rezeki saya. Perlahan, kami pun mencoba memba­ngun relasi dan menodong langsung kepada Muspida di Kepulauan Yapen dan para pengusaha yang bergerak di bagian Toko buku untuk membantu kami.

Alhasil, bantuan pertama kami dapatkan dari Kepala Pengadilan Negeri Serui, Yance Patiran. Kami pun menyambangi dua Toko Buku yang ada di Serui yakni Toko Buku Serui Indah dan Toko Agung. Mereka sa­ngat antusias memberikan bantuan berupa buku kepada komunitas kami. Sekitar lebih dari 30 buku  yang teryang ditulis Agis.

Saat tiba di Kampung Rondepi dan berjalan menuju sekolah.

Mendapati bantuan itu, kami pun mulai merencanakan kegiatan pertama kali dengan menyambangi Kampung Rondepi di Pulau Ambai, 23 Agustus 2017. Perjalanan ke kampung yang terletak di seberang Kota Serui itu sekitar 45 menit menggunakan perahu motor. Dengan niat baik kami menolong anak-anak, jalan terbuka. Salah seorang anggota DPRD Kepulauan Yapen, Charles Gomar, bersedia meminjamkan perahu motor untuk kami pakai ke Rondepi.

Setibanya di Rondepi, kami  disambut antusias oleh kepala kampung setempat yang mengantarkan kami langsung ke SD YPK Rondepi. Dengan menyusuri jembatan kayu panjang, kami pun ditemani oleh tim pengajar dari Indonesia Mengajar, Yandra, yang ditugaskan di kampung tersebut. Kepala Sekolah SD YPK Rondepi, Ribka Fonataba menyambut kami penuh senyum.

Dari kejauhan tampak anak-anak SD tengah menunggu kedatangan kami. Mereka sangat antusias mende­ngar pengumuman yang disampaikan sebelumnya bahwa kami akan membagikan buku gratis dan mendongeng bagi mereka.

Kami tiba di ruangan yang tidak terlalu besar dengan jumlah siswa yang masih bertahan sebanyak kurang lebih 30 orang saja. Mereka ada yang berasal dari kelas 1-6 SD. Sepertinya yang lain sudah pulang. Momen itu, kami manfaatkan benar-benar untuk berbagi dan memberi sema­ngat bagi anak-anak. Kami mendongeng, membaca dan membagikan buku gratis.

Agis bersama salah seorang anak SD YPK Rondepi.

Setelah itu, kami pun meminta anak- anak yang ada untuk maju ke depan dan membacakan buku. Jika me­reka bisa membaca dengan lancar, kami memberikan me­reka buku tulis dan buku bacaan gratis. Setidaknya, ada 8 orang anak yang berasal dari kelas III-VI yang berani dan berhasil membaca.

Tapi tak dapat dipungkiri, masih ada anak kelas IV-VI yang belum lancar membaca. Ini memang miris. Keluhan terbesar lain dari pihak sekolah ialah perpustakaan me­reka belum ada. Semoga ke depan pemerintah bisa memperhatikan sekolah ini dengan membangun perpustakaan dan taman baca bagi anak-anak.

Kami berjanji akan datang lagi dan membawa buku bacaan lebih banyak lagi. Mereka pun berjanji kepada kami, komunitas SAKU, untuk terus rajin membaca dan belajar. Sebab membaca adalah jendela dunia. (Agis Sitanggang/Telah Dimuat di Majalah Papua Bangkit Edisi Agustus 2017)

Facebook Comments Box