Ia memulai karier awalnya sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS). Tak cukup sampai di situ, ia pun melangkah maju menjadi seorang politisi, sebelum akhirnya bertemu Lukas Enembe dan dipercaya menjadi seorang sekretaris pribadi. Kerasnya hidup ia lalui sebelum meraih sukses.

Adalah Elpius Hugi, S.Pd.MA. Pria kelahiran Saminage, Yahukimo, 9 Maret 1975 ini  memulai kariernya sebagai PNS tahun 2003 di Kabupaten Ja­yawijaya, tak selang lama setelah menamatkan pendidikannya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Universitas Cenderawasih (Uncen). Baru dua tahun berkarier, tahun 2005/2006, ia diminta oleh Yanni untuk maju pada Pilkada Bupati di Yahukimo sebagai wakilnya. Sayangnya, mereka tidak terpilih.

Ia pun mengambil keputusan melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada dan diterima di Fisipol Jurusan Politik Lokal Otonomi Daerah. Tahun 2010, ia tamat S2. Di sela pendidikan S2, Elpius juga menjabat sebagai Ketua Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) Provinsi Papua. PKDI saat itu berhasil meraih 21 kursi anggota DPRD yang tersebar di Provinsi Papua. Di DPR Papua, PKDI memperoleh  satu kursi dan berkoalisi dengan Fraksi Papua Bangkit.

Melalui Koalisi Papua Bangkit yang kemudian memenangkan Lukas Enem­be sebagai Gubernur Papua pada Pilgub 2013, posisi Elpius se­bagai ketua partai pun berakhir. Ia lalu dipanggil oleh Lukas untuk menjadi Sekretaris Pribadi atau Sespri. Kata Lukas, urusan politik usai, saatnya mengurus birokrasi.

“Saya pikir itu jalan terbaik dan pengalaman di dunia politik saya pikir cukup. Pengalaman ke birokrasi menjadi pengetahuan dasar saya ke­tika nanti suatu saat Tuhan kehendaki saya menjadi pemimpin di suatu daerah. Paling tidak, saya sudah mengerti birokrasi pemerintahan dan politik. Menjadi  pelayan adalah melayani semua orang, tidak membedakan suku, agama dan golongan,” katanya.

 

Mengerti Karakter Orang

Elpius menjadi Sespri Gubernur Lukas sejak tahun 2014 dengan golongan III C. Suka duka ia lalui. Ia harus menghadapi semua orang, dengan keinginan dan kepentingan yang berbeda. Semua orang yang datang ingin memaksa bertemu gubernur dan menyatakan sangat urgen.

“Nah di situ yang menjadi masalah buat kita. Kita mau menolak mere­ka, salah-salah. Mau mene­rima me­reka juga salah-salah, tetapi saya mengerti tugas saya sebagai sesprinya pak gubernur, saya berusaha menampung aspirasi lalu menyampaikan kepada beliau,” ujarnya.

Karena itu, tips yang dilakukan Elpius menghadapi keruwetan itu yakni memahami karakter para tamu, budaya mereka dan dari instansi atau lembaga mana mereka datang.

“Apa yang dia mau sampaikan kita dengar dulu, baru sampaikan ke beliau. Dengan begitu, dia juga rasa puas karena apa yang menjadi keinginannya bisa disampaikan, sekali pun tidak ketemu gubernur, hanya lewat saya sebagai perantara. Saya ber­usaha maksimal melayani me­reka,” ujarnya.

Elpius Hugi bersama Gubernur Lukas Enembe, SIP.MH pada perayaan HUT RI ke-72, 17 Agustus 2017 lalu.

Menjadi Sespri Gu­bernur Lukas, bagi Elpius dijalaninya dengan nyaman dan sukacita. Bertahun-tahun dekat dengan Lukas, Elpius mengaku memperoleh che­mistry. Ia mengenal sosok Lukas yang kebapakan, tidak pernah marah, selalu ramah dan senyum, dan seakan tak kenal lelah bekerja melayani masyarakat.

“Beliau dengan tenang menghadapi. Seperti ini kita harus ikuti se­bagai staf. Saya lihat dari pak gubernur itu sosok yang sangat mencintai semua orang dan itu karakter dan cara yang beliau terapkan ke setiap orang. Beliau seorang yang rendah hati dan di dalam keluarga juga beliau merupakan contoh, panutan untuk kita yang lain,” kata suami dari Welmince  SW Asso.

 

Berjuang untuk Sekolah

Elpius anak bungsu dari lima bersaudara. Kedua orangtuanya, Pona Hugi dan Maria W.Esema sudah meninggal dunia. Dari keempat saudaranya, hanya Elpius yang bersekolah tinggi. Empat kakaknya, hanya satu yang menjabat kepala kampung yaitu Philipus Hugi.

Sejak kecil, Elpius adalah anak yang penurut. Oleh ayahnya, ia tidak dibolehkan sekolah. Karena itu, pada saat teman-temannya hendak lanjut SMP, ia dilarang ayahnya tetapi ibunya menguatkan dia lanjut sekolah.

“Bapak bilang tidak boleh sekolah karena tidak ada uang. Di situ saya betul-betul kesulitan dalam hal biaya hidup. Dari kampung Saminage ke Kota Wamena, orang yang kuat jalan itu satu malam dua hari jalan kaki. Tapi saya nekat dan semangat ke Wamena,” kata Elpius.

Elpius teringat masa-masa sulitnya. Ketika itu, tidak ada babi yang bisa dijual sebagai bekal untuk biaya sekolah. Hanya ibu yang memberinya tali anyam noken dalam gulungan kecil yang ia bawa dan dibeli orang de­ngan harga Rp 2500. “Itu modal saya beli buku waktu SMP,” kenangnya.

Sampai di Wamena, ada kerabat Elpius yang baru lulus SMP dan pa­kaian seragamnya diberikan padanya. Saat itu masih ada perang suku di Walesi membuat kondisi betul-betul sulit. Ia tinggal di salah satu asrama di Medapora yang diberikan kepala suku. Makanan sangat susah didapat.

“Kadang makan sayur saja, rebus daun ubi, makan dan tidur,” kata­nya. Teman seangkatannya 4 orang, semua putus sekolah. Elpius sendiri yang bertahan.

Ia kemudian dibantu Pastor Frans Lieshout, OFM dan pindah ke Asrama Walesi. Ia baru merasa lega karena dibelikan sepatu, pakaian dan alat tulis. Sekolah pun jaraknya sudah dekat. Untuk mendapat uang, ia meminta suster agar halaman dan rumput ia babat dan bersihkan. Ia diupah Rp 15.000-20.000. Tidak lama kemudian ia diminta kepala SMP YPPK untuk membantu, hingga ia masuk SMA.

“Sekolahnya siang, pagi saya bantu kepala sekolah di rumah. Hingga kelas 3 di SMA YPPK, baru saya pindah ke SMA PGRI untuk mengikuti ujian,” kata Elpius.

Lepas SMA, Elpius pun bertekad lanjut S1 di Universitas Cenderawasih Jayapura. Datang dari Wamena, Elpius hanya bermodal parang de­ngan tujuan awal hanya untuk dapat pekerjaan. Ia tinggal di Asrama Nayak di Kamkey, Abepura. Pagi-pagi, ia bekerja membabat rumput sampai jam setengah 7, sebelum ke kampus.

“Memang jaman saya sekolah itu setengah mati. Kalau anak-anak yang sekolah sekarang ini terlalu gampang, mereka minta uang di peme­rintah dikasih,” kata Elpius.

Ia bersyukur, bantuan dari Pastor Frans Lieshout, OFM setiap bulan sebesar Rp 150.000 rutin diterima­nya. Selain itu, juga ada beasiswa dari Keuskupan Jayapura dan beasiswa Supersemar di kampus.

Sebagai orang yang sedang menanjak tangga sukses di birokrasi, Elpius tidak ingin generasi muda Papua saat ini bermental instan, santai dan banyak menuntut dengan prestasi akademik yang pas-pasan. Ia berharap, generasi muda Papua ha­rus ditempa dengan kerja keras untuk menghilangkan kebiasaan minta-minta yang kian marak terjadi.

“Kalau jadi orang sukses itu kita harus alami yang susah. Ketika ada masalah, ada kesulitan jangan tergantung ke orang tua atau peme­rintah. Tuhan kasih kita otak untuk berpikir dan bekerja keras, bukan ada sedikit masalah langsung demo dikasih uang. Itu tidak benar,” tegasnya.

Elpius bersama Asisten I Setda Papua, Doren Wakerkwa, Asisten II Elpius Hugi, dan mantan Dirut Bank Papua, Johan Kafiar.

Mental struggle for life yang dimiliki Elpius termotivasi oleh dua tokoh yang dipujanya. Yaitu Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dan St. Fransiskus Xaverius. Menurutnya, dua tokoh ini mengajarkan kepemimpinan yang bagus bagi anak muda.

“Spiritualitas Santo Fransiskus memang ada di Gereja Katolik, tetapi saya rasa baik untuk ditiru semua orang, baik di pemerintahan, keluarga, lingkungan tentang cara memimpin penuh cinta. Ini yang melahirkan prinsip kerja saya: selalu berusaha untuk tidak buat orang susah, berusaha untuk membuat sesuatu yang terbaik sebagai Sespri Gubernur. Kalau bukan saya, siapa lagi yang melayani dan memperhatikan mereka,” tegas Elpius. (Gusty Masan Raya/Telah Dimuat di Majalah Papua Bangkit Edisi Agustus 2017)

Facebook Comments Box