Kepala Dinas Kesehatan Papua, drg. Aloysius Giyai, M.Kes berdialog dengan salah satu pasien pengguna KPS di RSUD Nabire.

JAYAPURA (PB)—Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 1 Januari 2019 berencana mengintegrasikan layanan kesehatan Kartu Papua Sehat (KPS) era Gubernur Lukas Enembe dengan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) era Jokowi. Integrasi ini dilakukan untuk meningkatkan mutu dan effektivitas pelayanan kesehatan bagi pasien sekaligus menghindari tumpang tindihnya sumber anggaran serta pendobelan kepemilikan kartu layanan kesehatan tiap warga negara.

“Ini sudah perintah Undang-Undang dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah ingatkan, 1 Januari 2019 KPS-JKN KIS harus diintegrasikan. Karena itu, hari ini, kita duduk bersama pikirkan bagaimana caranya agar kita tidak rugi dan rakyat Papua tetap terima layanan kesehatan gratis seperti biasa,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giyai, M.Kes saat rapat koordinasi dengan Tim Pengelola KPS Dinkes Papua dan Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP), Rabu (25/04/2018).

Menurut Aloysius, sebenarnya sejak 1 Januari 2016 lalu, Dinkes Papua mengintegrasikan KPS dengan JKN-KIS. Pihaknya pun telah melakukan studi banding integrasi antara Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh dengan JKN-KIS di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari studi banding itu, satu kendala yang dihadapi di Papua adalah masih kurangnya Orang Asli Papua peserta KPS yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kartu Papua Sehat (KPS)

“NIK ini jadi data dasar persyaratan keanggotaan JKN-KIS dari BPJS. Kita pernah koordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dan Dinas Sosial Provinsi Papua dan kabupetn namun belum benyak hasil maksimal. Kalau kita paksa integrasikan waktu itu, ya kita akan rugi karena setelah membayar premi peserta KPS oleh Pemprov Papua ke BPJS, jika dalam setahun anggaran itu tak terserap habis maka sesuai aturan dan prinsip gotong royong tak akan dikembalikan. Sementara banyak rakyat korban tak bisa mendapat layanan karena tak punya NIK. Makanya kita belum integrasikan,” kata Aloysius.
Lalu Bagaimana Solusinya?
Integrasi layanan kesehatan KPS dengan JKN-KIS berdampak pada anggaran dan efektivitas pelayanan bagi pasien. Apalagi, persoalan NIK dan prinsip gotong royong yang dianut BPJS berpotensi merugikan keuangan Pemprov Papua dan hak pelayanan kesehatan bagi Orang Asli Papua. Lalu bagaimana solusi Dinas Kesehatan Papua untuk mengatasinya?

Menurut Aloysius, melihat tenggang waktu yang tinggal 8 bulan, sangat tidak mungkin tim Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan Dinas Sosial untuk melakukan validasi data dan pendataan peserta KPS-JKN secara riil hingga ke seluruh Papua. Lalu bagaimana solusinya agar integrasi ini sukses dan pelayanan kesehatan bagi rakyat Papua berjalan efektif?

Suasana pertemuan Dinkes Papua dan UP2KP dipimpin Kadinkes Papua Aloysius Giyai.

“Pertama-tama, sebagai ujicoba, kita minta kartu KIS dari BPJS. Kita letakkan di beberapa tempat pelayanan kesehatan, kita pantau selama 3 bulan. Bisa di Puskesmas dan rumah sakit. Jadi kita buat format khusus dari BPJS untuk para peserta yang tak terdaftar bisa diisi oleh petugas di loket administrasi. Kekurangannya ya kita tidak bisa jangkau peserta yang tak punya NIK yang tidak sehat. Saya minta UP2KP ikut membantu Dinkes Papua,” kata Aloysius.

Aloysius menjelaskan, tim UP2KP akan ditugaskan turun ke beberapa rumah sakit yang melayani KPS yakni RSUD Jayapura, RSUD Abepura, RS Jiwa Abepura, RSUD Yowari dan RSUD Kwaingga serta 4 rumah sakit mitra seperti RS Bhayangkara, RS Angkatan Laut, RS Dian Harapan dan RS Marthen Indey untuk mengambil data pasien Orang Asli Papua (OAP) yang tak masuk kuota BPJS dan yang tak punya NIK. Selain itu, setiap bulan perlu ada koordinasi pelaporan data peserta KPS tanpa NIK yang terjaring dari format pengisian yang dititipkan di setiap loket administrasi layanan kesehatan itu.

“Jadi data tersebut diambil, divalidasi dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Papua. Kami Dinkes akan keluarkan surat keterangan bahwa peserta ini sebagai masyarakat tak mampu berkoordinasi dengan Dinas Sosial. Kemudian kami koordinasi lagi dengan pihak Dukcapil minta mereka keluarkan NIK peserta tersebut. Ini salah satu cara agar kita tak rugi. Orang BPJS yang malah memberi kelonggaran seperti ini sebagai solusi kekurangan NIK,” kata Aloysius.
Terkaitnya adanya kelonggaran itu, Direktur I UP2KP Agus Raprap, AM.KL mengatakan seharusnya pihak BPJS selaku penyelenggara sudah menyampaikannya kepada Dinas Kesehatan Papua sejak 2015 agar rencana integrasi KPS-JKN KIS bisa dilakukan per 1 Januari 2016.

Salah satu contoh Kartu Indonesia Sehat (KIS)

“Di kelurahan-kelurahan di Kota Jayapura, banyak sekali kartu KIS yang tak terbagi. Seturut data di Papua ada 2.8 juta kartu peserta KIS. Nah semestinya BPJS bisa berkoordinasi dan manfaatkan itu. Dan banyak yang dibagi tanpa ada NIK di kartu itu. Ini fakta. Sementara alokasi dana tersebut tetap jalan tiap tahun. Jadi kalau kita mau selesaikan ya kita harus intervensi dengan inventaris sejak dari rumah sakit,” kata Raprap.
Petrus Wona, Kepala Seksi Pengobatan Tradisional pada Dinkes Papua mendukung jika UP2KP dan Dinkes turun untuk membantu proses NIK itu. Tetapi ia menyarankan, tim harus turun ke setiap kelurahan untuk mengambil data riil penduduk OAP peserta KPS yang belum memiliki NIK.

“Karena data di kelurahan itu diambil dari Dukcapil yang jarang di-update. Ada yang sudah pindah, bahkan ada yang sudah mati pun masih dipakai,” kata Wona.

Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giyai melanjutkan, alternatif kedua yang disiapkan pihaknya adalah jika selama ini dana KPS yang dikirim Pemprov Papua ke Rumah Sakit maka 50 persen untuk dana KPS Komplementer diambil untuk membayar premi BPJS guna integrasi KPS-JKN KIS.

Kadinkes Papua Aloysius Giyai berpose dengan staf Puskesmas Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar usai berdialog soal pelayanan JKRA-JKN, Juni 2015.

”Dengan catatan, kita minta total couverage untuk seluruh masyarakat Papua. Dua alternatif ini kita ambil untuk antisipasi kerugian bagi rakyat Papua. Sebab saya tidak mau gara-gara integrasi ini, rakyat Papua yang selama ini sudah menikmati layanan kesehatan gratis tiba-tiba tak dilayani lagi dan diminta bayar, ” tegas Aloysius.

Alternatif ketiga, lanjut Aloysius, ialah memotong 15 persen dana Otsus Bidang Kesehatan yang dikirim ke kabupaten/kota untuk dijadikan dana premi BPJS. Terkecuali, 7 kabupaten yang pada 2018 ini sudah melakukan integrasi dengan JKK-KIS yakni Kabupaten Jayapura, Keerom, Biak, Mimika, Merauke, Bouven Digoel dan Mappi. Sementara dana KPS ke rumah sakit tetap menjadi dana komplementer untuk mem-back up BPJS. Sumber dana lain bagi premi ialah sumber dana yang tidak mengikat seperti APBD daerah atau dana hibah lain.
“Sudah kita hitung, dananya sebesar Rp 280 milyar lebih untuk bayar premi tiap tahun. Karena itu, tim integrasi KPS saya minta siapkan bahan kita presentasi segera ini ke Penjabat Gubernur dan DPR Papua pekan ini,” kata Aloysius.

Sekretaris Dinas Kesehatan Papua, dr. Silwanus Sumule, Sp.OG(K) mengatakan, berdasarkan data BPJS Divisi Regional XII Papua-Papua Barat, cakupan kepesertaan JKN-KIS di Provinsi Papua hingga 1 Maret 2018 ialah sebanyak 3.544.723 jiwa atau 75.64 persen dari total jumlah penduduk di provinsi ini sebanyak 4.666.108 jiwa.

“Berarti Pemprov Papua tinggal tanggung premi penduduk yang belum terkafer JKN-KIS sebanyak 1.121.385 jiwa ke BPJS Papua sebesar Rp 280 milyar lebih itu,” kata Silwanus. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box