Sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jayapura dalam kasus akibat kerusuhan pada akhir Agustus 2019 lalu.

JAYAPURA (PB.COM) – Sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jayapura dalam kasus akibat kerusuhan pada akhir Agustus 2019 lalu, diwarnai skorsing, akibat protes penasehat hukum para terdakwa dan konfirmasi keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum yang oleh penasehat hukum dinilai sarat kejanggalan.

Siaran pers yang diterima media ini, Senin (2/12/2019) sore, skorsing terjadi saat saksi yang diajukan Jaksa bernama Hamka, anggota Polda Papua diajukan terlebih dulu untuk diperiksa pada persidangan Senin siang. Sugeng Teguh Santoso, menyatakan keberatan dan meminta hukum acara pidana ditegakkan sebagaimana mestinya. Akhirnya, persidangan diskors beberapa menit setelah kemudian saksi pelapor hadir.

Seorang saksi bernama Heppy Salampesy, anggota Polda Papua bahkan mencabut isi daripada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menurutnya tidak pernah disampaikan, namun tercatat di BAP. Ia bahkan sudah menandatangani BAP tersebut. Pencabutan itu terjadi saat saksi menyatakan hanya memberikan satu kali keterangan di hadapan penyidik.

Setelah dikonfirmasi oleh penasehat hukum, ternyata BAP yang bersangkutan ada dua. Saksi juga tidak bisa mengidentifikasi ciri-ciri terdakwa pada saat melakukan pelemparan dengan alasan jumlah massa yang banyak melakukan pelemparan, sehingga penasehat hukum pun meragukan kebenaran keterangan saksi.

Anehnya, baik saksi Hamka maupun saksi Heppy Salampesy yang notabene anggota Polda Papua, tidak mendokumentasikan peristiwa pelemparan dengan alasan tidak sempat berpikir. Padahal, Heppy Salampesy menyatakan bahwa saat pengarahan dilakukan, pimpinannya memberi perintah untuk mengetahui pelaku, perbuatan tindak pidana yang dilakukan, barang bukti dan saksi.

“Di sisi lain, Heppy Salampesy juga menjadi saksi untuk terdakwa lainnya, sehingga bagaimana mungkin satu saksi menjadi saksi untuk beberapa peristiwa dengan beberapa terdakwa di tempat dan waktu yang berbeda-beda?” tanya Sugeng Teguh Santoso.

Oleh karena itu, Tim Advokat untuk Orang Asli Papua (OAP) mendesak, antara lain, majelis hakim menerapkan Pasal 242 ayat (1) KUHP terhadap para saksi, sebab kuat dugaan keterangan para saksi yang disampaikan di bawah sumpah sarat kepalsuan. Pasal 242 ayat (1) KUHP berbunyi: “barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

“Kami juga meminta majelis hakim menjamin rasa aman para terdakwa selama dilakukan penahanan di Rutan Polda Papua,” pinta Sugeng yang didampingi Frederika Korain dan Aloysius Renwarin. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box