Anak-anak SD Negeri Kumudluk Distrik Koragi, Kabupaten Jayawijaya. Mereka berasal dari beberapa kampung lain seperti Iriliga dan Onggabaga. Untuk sampai ke sekolah anak-anak ini mesti berjalan kaki minimal satu jam naik turun bukit.

Anak-anak SD Negeri Kumudluk Distrik Koragi, Kabupaten Jayawijaya. Mereka berasal dari beberapa kampung lain seperti Iriliga dan Onggabaga. Untuk sampai ke sekolah anak-anak ini mesti berjalan kaki minimal satu jam naik turun bukit.

ADA satu hari di mana kami  sebenarnya akan ke Tolikara dari Wamena, di Pegunungan Tengah Papua. Seorang teman mau menunjukkan kepada saya Puncak Mega, di mana menurut dia, seluruh keindahan lembah Baliem boleh dilihat dari atas.

Tetapi karena kondisi di sana sedang panas akibat Pilkada pada Februari 2017 itu, tujuan dialihkan ke Iriliga, Distrik Bpiri, Kabupaten Jayawijaya, sebuah kampung yang berangin di atas bukit-bukit  hijau.

Kami berkendara selama sejam melewati Kampung Air Garam di Distrik Bugi. Kampung ini menjadi terkenal berkat Yali Inggibal dan Kepala Suku Wulep Kenelak yang membangun jamban agar warganya tidak buang air besar di sembarang tempat. Jamban bikinan Yali telah diduplikasi ke beberapa desa di sekitarnya, termasuk konsep denda yang diterapkan Wulep. “Bapa Wulep kasih denda Rp300 ribu yang ditangkap buang kotoran di sembarang tempat,” kata Yali sembari tertawa, waktu kami jumpa beberapa hari sebelumnya.

Yali dan Wulep menjadi tokoh penggerak untuk kampung Air Garam, Manda dan tiga kampung lainnya di sekitar Air Garam. Total sudah 328 buah jamban mereka bikin. Padahal keduanya tidak berpendidikan tinggi. Beruntung Yali masih bisa membaca. Wulep hanya bisa mengeja huruf berkat kursus pemberantasan buta huruf. Tapi dua orang ini punya kesamaan; tidak tahu kapan mereka lahir.

Lepas dari Distrik Bugi, kami masuk Distrik Yalengga, lalu belok kanan keluar dari ruas jalan Wamena-Tolikara. Mobil mulai merayap di punggung-punggung bukit. Jalan baru perkerasan, tetapi di sana-sini telah digerus banjir. Andai saat kami naik hujan sedang turun, kami harus balik kanan ke Wamena. Bahkan mobil jenis four wheel drive seperti yang kami tumpangi akan sukar melewati jalanan yang licin dengan kemiringan 60 derajat. Namun beruntung, selama dua minggu pada akhir Februari itu, Jayawijaya hanya diguyur hujan ringan.

Dan kami tiba di Iriliga. Mobil telah kami tinggalkan jauh di belakang di atas bukit yang lain. Kami berjalan kaki. Jembatan kayu yang menjadi penghubung antar kampung tak kuat menahan bobot mobil. Tetapi lebih dari itu kami sengaja memilih jalan kaki, agar dapat menikmati alam Iriliga seasli-aslinya.

Barisan pegunungan yang memanjang dan curam menjadi pembatas kawasan ini, sebab di sebelah gunung itu adalah kabupaten lain yakni Kabupaten Membramo Tengah. Namun di sisi yang berlawanan, setelah melewati landskap pemukiman warga, pandangan bisa leluasa dilepas ke lembah Baliem yang elok di bawahnya. Saya membayangkan kawasan Puncak di Bogor Jawa Barat yang setiap akhir pekan penuh oleh atlet paralayang, dengan payung warna-warni memenuhi udara di atasnya. Potensi olahraga sekaligus wisata paralayang  sangat terbuka di gunung-gunung di Jayawijaya.

Tentu saja Iriliga tak ada dalam peta Indonesia, kecuali peta kabupaten Jayawijaya yang perlu energi ekstra untuk mendapatkannya. Teman, seorang filmmaker di Wamena ikhlas memberinya pada saya. Dia juga sukrela menemani  berjalan kaki empat jam di bawah terik matahari bersama kader-kader dari Wahana Visi Indonesia (WVI). Tetapi begitu tiba di Gereja GIDI Jemaat Anugerah Iriliga semua itu terbayar tuntas. Saya kaget, karena tiba-tiba kami telah berada di ketinggian dan dikepung oleh lanskap pegunungan yang indah.

Ladang ipere menghampar jauh, kerap menukik di dasar lembah. Sukar mencari tanah yang datar di sini, kecuali di mana kampung-kampung berada. Dan setiap kampung dipagari oleh kayu-kayu yang ditancap rapi lalu atasnya diberi “payung” rumput-rumput agar tak mudah lapuk terkena hujan dan panas. Setiap kampung punya gerbang sebagai jalan masuk-keluar. Berada di depan.Juga “dipayungi” dan selalu ditutup. Beberapa anak kecil berlari-lari membuka gerbang menyambut kami. Dan dalam sekejap seluruh kampung telah berkumpul.

Bukan hanya kampung yang diberi pagar sebagai batas teritori. Ternyata setiap rumah memiliki pagarnya masing-masing, melingkari seluruh bagian rumah dengan halaman yang luas. Sehingga ketika anak-anak ingin bermain bersama kawan-kawan sekampung, ia akan keluar melewati gerbang rumahnya dan datang ke halaman kampung yang lebih luas. Rumput-rumput di halaman dipangkas rapi.

Saya kagum karena yang seperti ini hanya pernah saya tonton dalam film-film  kolosal tentang raja dan pengeran dari pedalaman Irlandia.Tetapi kali ini kami berada di Iriliga di Papua, masih bagian dari Indonesia. Sebagai orang yang hidup di Jakarta yang jarak antar rumah hanya dipisah oleh tembok, datang ke Iriliga memang bikin iri. Kalau tidak kaya luar biasa, tak mungkin punya rumah berhalaman luas seperti di sini.

Dan bagi saya , honai-honai yang teratur rapi dengan public space di depannya,  dan bangunan gereja pada ujungnya yang lain, hanya dihasilkan oleh peradaban yang maju. Saya yakin semua itu dirancang dengan sengaja. Dari hal ini saja saya menjadi sangsi dengan pandangan sementara orang yang menilai warga Papua terbelakang dan bodoh. Sebab tidak mungkin menata lanskap perkampungan yang  menghadap hamparan lembah di bawahnya dan gunung yang memagarinya di belakang, jarak antar honai sekian meter, dirancang oleh mereka yang bodoh.

Bagi saya, orang  Papua memiliki kegeniusannya sendiri. Punya local wisdom-nya  sendiri. Punya cara bertahan hidupnya sendiri. Punya ipere yang tidak perlu diganti dengan beras. Punya sayur-sayuran, buah, kopi, tebu, buah merah, dan apa saja yang telah menghidupi mereka secara turun-temurun. Mereka punya babi sebagai sumber gizi dan komoditas ekonomi. Sialnya, kita selama ini mengukur segala kemajuan dari Jawa. Dilihat dengan kacamata Jakarta. Juga Papua dan rakyatnya selalu dilihat dari kacamata ini. Dan mereka dicap bodoh dan terbelakang.

Dan keramahan selalu tampil kapan saja, di mana saja di sini. Keramahan yang tulus. Bukan keramahan yang basa-basi. Maka ipere bakar mudah terulur dari dalam noken ibu-ibu. Itu bekal makan siang mereka di ladang. Agar kami yang masih berjalan jauh tak perlu kelaparan. Ikhlas!

Atau ada yang menahan kami agar menunggu barang sebentar saja. Lalu ia berlari-lari ke honainya. Kemudian datang menatang nampan berisi ipere bakar yang manis. Atau di lain rumah, si empunya rumah secara terburu-buru memetik buah markisa dari pohonnya. Ia mengulurkannya dengan wajah penuh senyuman, dan berujar, “Maaf, kami tidak bisa memberi apa-apa selain ini.”

Kala berpapasan di jalan, entah kenal atau tidak kenal, ringan sekali kami disapa dan diajak berjabat tangan. Rupanya berjabat tangan dan mengucapkan salam sudah mendarah daging. Pada jalanan yang menanjak tajam di Iriliga itu, mama-mama dengan noken yang penuh berisi ubi dan sayuran di kepalanya, selalu berhenti berjabat tangan dan mengucapkan salam. Keramahan orang kampung yang tulus. Tidak dibuat-buat. Sebab orang yang lewat di hadapannya adalah sesama yang perlu disapa. Homo homini socius!

Sore menjelang. Matahari tersisa remang-remang sebelum masuk ke balik gunung. Suhu menjadi 15 derajat celsius. Sangat sejuk. Saya sengaja menjauh. Berdiri di belakang gereja, menikmati alam seasli-aslinya. Lembahnya seperti penuh misteri. Kicau burungnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya matahari sorenya. Semua menyatu dalam keheningan yang dalam.

Kali ini saya diam-diam berdoa. Semoga Allah masih memberi kesempatan lain bagi saya untuk kembali ke Iriliga, menikmati keindahan yang tiada taranya ini.  (Alex Japalatu, penulis freelance, tinggal di Depok Jawa Barat)

Facebook Comments Box