JAYAPURA (PB): Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP) berharap Kartu Papua Sehat  (KPS) tetap ada di tahun-tahun mendatang, bila perlu dananya ditambah karena keberadaan KPS sangat bermanfaat dan membantu orang asli Papua.

Hal ini dikemukakan Wakil Direktur UP2KP, Agustinus Raprap kepada wartawan dalam jumpa pers yang digelar, Kamis (13/7) siang di Kantor UP2KP. Raprap didampingi tiga kepala bidang, yaitu Kepala Bidang Litbang Hidayat, Kepala Bidang Pengaduan Kamilus Logo dan Kepala Bidang Emergensi Respon, Darwin Rumbiak.

Raprap menjelaskan panjang lebar manfaat yang masyarakat Papua sudah terima secara maksimal terkait pelayanan kesehatan yang difasilitasi oleh KPS sejak tahun 2013 keberadaan UP2KP di Papua. Ia juga menjelaskan apa yang dikerjakan oleh UP2KP berupa kegiatan laporan tahunan dan hal lainnya, dan monitoring evaluasi UP2KP terhadap KPS, yang menurutnya penting diketahui publik.

Misalnya pada bidang pengaduan dan emergensi respons, kata Raprap, masyarakat melaporkan kepuasan maupun ketidakpuasan pelayanan maupun fasilitas kesehatan. Pihaknya mengolah masalahnya di mana, apakah karena ketidaktahuan aturan atau pelanggaran aturan, atau ada pasien yang karena mereka tidak tahu, sedang terpapar di rumah dan lainnya.

Raprap menjelaskan, berdasarkan Pergub Nomor 16 than 2013 tentang pembentukan UP2KP, tugasnya secara garis besar hanya dua, yaitu menampung keluhan-keluhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan orang asli Papua, menyelesaikan masalah dan melaporkan kepada gubernur. Yang kedua, mengawasi dinas kesehatan, tidak hanya di provinsi tetapi sampai di kabupaten-kabupaten.

Kepala Bidang Emergensi Respon Kesehatan, Darwin Rumbiak pada kesempatan itu menjelaskan, bidangnya lebih banyak berkecimpung pada pengaduan di sisi medis, baik dari daerah maupun di provinsi. Kata Darwin, ada beberapa kasus yang sudah mereka tangani, tindak lanjut sampai dengan proses rujukan. Penanganan rujukan mulai dari tahun 2013, ada beberapa jenis penyakit besar yang mereka tangani yaitu hidrosephalus, kaki gajah, ada beberapa daerah yang endemik dengan kejadian luar biasa (KLB). “Kami turun untuk penyelesaian masalah di sana, kami fasilitasi di dinas hingga kabupaten/kota,” ujarnya.

Permasalahan di rumah sakit, lanjut Darwin, ada beberapa hal yang mereka juga bantu fasilitasi selesaikan terkait dengan penanganan kasus-kasus medis, bekerjasama dengan beberapa teman di fakultas kedokteran untuk membantu dalam hal kasus-kasus yang sifatnya emergensi.

“Masalah pengaduan emergensi, kami juga melakukan beberapa hal yang terkait dengan penjemputan pasien dari bandara menuju rumah sakit tujuan untuk dirawat, termasuk ada pasien yang mengalami kendala tidak bisa beraktifitas di rumah terkait dengan masalah financial, kami fasilitasi ke rumah sakit dan memberikan bantuan sampai rumah sakit,” ungkapnya.

Kalau dari sisi rujukannya, kata dia, ada beberapa pasien yang mereka fasilitasi dan dirujuk ke luar Papua terkait kekurangan fasilitas di rumah sakit provinsi, dengan menggunakan KPS. Ini dilakukan karena beberapa hal seperti sarana prasarana, SDM yang terbatas sehingga harus dirujuk. Tiga rumah sakit rujukan yaitu RS Wahidin Makassar, RS Soetomo Surabaya dan RSCM Jakarta.

Darwin mengatakan, sampai saat ini, jumlah pengguna KPS yang dirujuk keluar itu sangat banyak namun ada beberapa juga yang tidak sempat dirujuk terkait dengan sisi medis yang sebenarnya walaupun rujuk atau tidak, sulit tertolong sehingga secara kekeluargaan mereka sampaikan kepada keluarga bahwa pasien tidak bisa dirujuk karena alasan-alasan tertentu.

Terkait pemanfaatan KPS untuk orang Papua menurutnya sangat bermanfaat. Ia menyontohkan, di rumah sakit, KPS sebenarnya hanya bersifat memback-up saja apa yang tidak tercover oleh BPJS. Namun kalau dilihat, hampir sebagian besar orang Papua menggunakan KPS sebagai kartu utama selain kartu yang berlaku nasional.

Menyambung penjelasan Darwin, Raprap menambahkan, yang berhak mendapat pelayanan berdasarkan Pergub Papua adalah orang asli Papua dan Papua lainnya, dan ini diberlakukan sejak 1 Januari 2014. Yang masuk daftar tidak mampu termasuk juga pegawai negeri, tentara, polisi, yang golongan bawah.

Kabid Penanganan Pengaduan Kamilus Logo menjelaskan, bidangnya dibentuk tahun 2016, karena banyaknya pengaduan yang masuk di UP2KP. Dan selama 2016, bidangnya menangani pengaduan hanya 3 masalah utama itu pembiayaan, rujukan dan pelayanan.

“Kami sudah tangani sekitar 92 pengaduan dan semuanya kita fasilitasi dan selesaikan, baik dari rumah sakit pemerintah dan swasta. Di 2017 dari Januari sampai Juli, kita sudah tangani sekitar 21 pengaduan. Semua yang masuk, kita sudah tangani, orang asli Papua. Untuk non-Papua ada 5 orang yang memang tidak mampu, kita bantu fasilitasi. Pengaduan dari kabupaten lain juga, kita turun dan jemput, contoh pasien vilariasis, kita turun jemput ke Wamena dan bawa ke Jayapura, sudah dua kali operasi dan sudah sembuh,” terang Kamilus.

Raprap menambahkan, KPS sangat membantu memback-up pasien. dua rumah sakit pemerintah, yaitu RSUD Abepura mendapat dana KPS Rp 46 miliar, RSUD Dok 2 Rp 70 miliar. Kata Raprap, sesuai aturan dalam Pergub Papua juga menjelaskan, untuk non-Papua murni (tidak ada turunan Papua) ada hak 2,5 persen dari dana yang tersedia (60 persen pelayanan dan 40 persen untuk jasa petugas medis). “Saya sosialisasi di RSUD Dok 2, saya katakan, dari dana Rp 70 miliar, ada hak untuk non-Papua Rp 1,7 miliar di sana,” imbuhnya.

Karena itu, kata Raprap lebih lanjut, ke depan, KPS harus tetap ada. “Kami minta tetap ada, bila perlu ditambahkan dananya, yang penting kita lihat kebutuhannya untuk apa,” katanya. (Frida Adriana)

Facebook Comments Box