Yance Salambauw, SH, kuasa hukum Gubernur Papua saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Jakarta.

JAYAPURA—Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP.MH memenuhi panggilan Bareskrim Polri, Senin (04/09/2017) dan menjalani pemeriksaan  yang dilakukan tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi beasiswa Papua. Pemeriksaan terhadap Lukas dilakukan di gedung Bareskrim yang berada di Ombudsman RI Kuningan, Jakarta Selatan.

Gubernur Lukas hadir didampingi empat kuasa hukumnya yakni Yance Salambauw, SH, MH, DR. Anthon Raharusun, SH, MH, Roy Rening, SH, MH dan Christoffel Tutuarima, SH serta sejumlah pimpinan SKPD terkait.

Usai pemeriksaan, tim kuasa hukum, Yance Salambauw, SH.MH menjelaskan, ketidakhadiran  Gubernur Lukas memenuhi panggilan Bareskrim Polri pekan lalu karena kesibukan Lukas sebagai Gubernur.

“Dan hari ini, Gubernur Lukas secara kooperatif telah memenuhi panggilan Bareskrim Polri kemudian dilakukan pemeriksaan. Ini tentunya sebuah kewajiban seorang warga negara yang taat akan hukum yang patut diapresasi,” ujar Yance kepada wartawan.

Yance menjelaskan, publik di Papua mesti mengetahui bahwa pemanggilan yang dilakukan kepada gubernur dan beberapa pimpinan SKPD sebenarnya bersifat umum dan hal biasa. Oleh karena itu, seluruh masyarakat menghormati proses hukum itu dengan tidak berpraduga atau menjustifikasi berlebihan.

 

Merasa Aneh dan Tak Mendasar

Pada kesempatan itu, di hadapan pers, Yance juga mempertanyakan ada beberapa poin yang dari kacamata hukum tidak logis. Sebab menurut Yance, berbicara masalah penanganan korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25 Tahun 2016, maka indikator kerugian negara merupakan sesuatu yang krusial dan penting.

“Kerugian negara tidak bisa ditafsirkan atau tidak bisa analogikan, bahkan tidak bisa diasumsikan. Pasca putusan MK itu, mensyaratkan kerugian negara dalam suatu proses tindak pidana korupsi harus bersifat nyata dan pasti. Dengan demikian, putusan MK itu telah menegaskan bahwa pemeriksaan dalam kasus tindak pidana korupsi harus didahulukan dengan adanya audit kerugian negara yang telah diaudit  atau ditemukan bahkan disampaikan oleh institusi negara yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” tegasnya.

Sementara, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK periode tahun 2014-2016, pengelolaan keuangan daerah di bawah kepemimpinan Lukas Enembe mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dua tahun berturut-turut.

“Artinya, dugaan tindak pidana korupsi yang dikatakan Bareskrim Polri dalam kasus ini adalah masih terlalu jauh baik dilihat dari sisi normatif maupun sisi prosedur. Darimana dasar hukumnya? Sebab indikasi kerugian negara maka hal utama yang dijadikan acuan umum adalah hasil pemeriksaan BPK. Penyidik Polri ataupun penyidik Kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan terjadinya kerugian negara selain ketika perkara itu masuk dalam persidangan,” tegas Yance.

Kuasa hukum DR. Anthon Raharusun saat memberikan keterangan pers.

Sementara kuasa hukum lain, DR. Anthon Raharusun, SH.MH mengatakan, dalam kasus ini pihaknya meminta jangan dipolitisir. Ia juga berharap proses hukum ini berjalan sesuai koridor hukum sehingga tidak ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).  “Kita tetap mendukung sebuah proses hukum tetapi kalau kasus ini berindikasi kepada kepentingan politik maka akan sangat disayangkan,” kata Anton.

Anton juga meminta media cetak maupun media online baik lokal maupun nasional supaya dalam menulis berita terkait mengedepankan independensi dan prinsip cover both side (keberimbangan dari dua sisi), dan tidak sepihak menyudutkan saksi yang diperiksa.

“Tentu di sini kita harapkan kepolisian dalam hal ini Bareskrim juga harus mengedepankan prinsip penegakan hukum tanpa harus mengedepankan kepentingan politik,” tandasnya. (Gusty Masan Raya/RM)

Facebook Comments Box