Tampak kerusakan hutan akibat erosi di Pegunungan Cyclops dilihat dari Kota Sentani.

JAYAPURA (PB.COM)—Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Edward Sembiring, S.Hut.M.Si mengatakan cagar alam Pegunungan Cycloop saat mengalami kerusakan parah. Hal ini ditandai dengan tiga fakta miris yang tengah menimpa kawasan yang memiliki luas 31.479,89  ini.

“Fakta pertama, ada terjadi perambahan di kawasan penyanggah dan cagar alam berupa pembukaan kebun, penebangan kayu, pembuatan arang, bahan galian C dan pemukiman illegal. Kedua, berkurangnya debit air pada sumber-sumber air utama di Pegunungan Cyclop. Ketiga, hilangnya beberapa spesies kunci seperti edkina, kasuari, cenderawasih, kanguru pohon dan mambruk karena rusaknya habitat mereka,” kata Edward saat pelatihan di Papua bertajuk Pengelolaan Hutan Cycloop: Mengatasi Ancaman dan Menyelamatkan Sumber Air Kabupaten/Kota bagi para jurnalis Papua di Hotel Horex Sentani, Selasa (02/04/2019).

Kepala BKSDA Papua Edward Sembiring, S.Hut.M.Si saat memaparkan materi di hadapan wartawan.

Menurut Edward, kawasan cagar alam Cycloop memang hanya 8,3 % dari areal terbuka. Namun kondisi yang paling mengkhawatirkan adalah aktivitas perambahan di areal terbuka dalam bentuk peladangan tradisional, pemukiman dan areal tidak berhutan serta adanya aktivitas galian C atau tambang di daerah penyangga yang sangat mengancam kelestarian kawasan cagar alam Cyclop.

“Tekanan pemukiman di kawasan penyanggah sangat tinggi, kemudian perambahan dan peburuan, aktivitas wisata, pendakian di dalam kawasan ikut mengancam. Ini juga ikut memicu mengeringnya sumber air utama dan banjir di saat musim hujan. Saya berharap, Pemda Kabupaten Jayapura  perlu menerapkan Perda  ruang kelola kawasan penyangga terhadap tata ruang kota. Salah satunya, menerapkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani Pemda di hadapan Presiden 1 April lalu ,” tegas Edward.

Koordinator Landscape Cycloop dari USAID-Lestari Papua, Deddy Rickson L.

Koordinator Landscape Cycloop dari USAID-Lestari Papua, Deddy Rickson L. mengatakan berdasarkan data sebaran ancaman pada 19 lokasi patroli di Cycloop 2018 di lima wilayah Dewan Adat Suku (DAS) yakni Sentani, Imbi Numbay, Moi, LMA Port Numbay, dan Tapera Yewena Yongsu menunjukkan aktivitas ancaman tertinggi ialah perambahan kawasan. Sepanjang 2016-2018, terjadi 715  kasus perambahan, disusul kasus perburuan (149 kasus), dan pembalakan liar (118 kasus).

“Perambahan itu terbanyak untuk perkebunan, baik kebun campuran, kakao, palawija,pisang, ubi, pinang, labu siam dan sebagainya,” kata Dickson.

Menurut Martha Triasih Karafir Peneliti untuk Kantor World Resources Institute (WRI) Indonesia pada Provinsi Papua dan Papua Barat, kondisi kerusakan kawasan cagar alam Cyclop dapat dilihat melalui aplikasi pemantau hutan yang terdiri dari dua bagian yakni website “Global Forest Watch” beserta item di dalamnya yang disebut “Forest Watcher”.

Martha Triasih Karafir Peneliti untuk Kantor World Resources Institute (WRI) Indonesia pada Provinsi Papua dan Papua Barat

“Jadi dalam aplikasi yang bisa juga digunakan secara ‘offline’ ini, bisa mengetahui kondisi tutupan pohon pada suatu kawasan misalnya cagar alam Cycloop,” katanya.

Martha menjelaskan, dalam sistem pengawasan melalui aplikasi ini, polisi hutan maupun masyarakat dapat mengetahui kondisi Cycloop melalui citra satelit, di mana setelah mendapat data dapat langsung dikroscek ke lapangan untuk selanjutnya ditindaklanjuti.

Dia menambahkan “Global Forest Watch” sebenarnya cocok digunakan oleh dinas kehutanan, BKSDA dan masyarakat sendiri, namun aplikasi ini hanyalah pendukung bukan alat pendeteksi dini bencana alam. Kendati demikian, alat ini bisa memberikan analisis tutupan pohon yang berkurang pada suatu kawasan misalnya Cycloop secara cepat. Oleh karena itu, WRI yang dikenal dengan nama Yayasan Institut Sumber Daya Dunia ini mendorong penggunaan aplikasi pemantau bagi polisi hutan khususnya di Papua untuk mengawasi kondisi cagar alam Cycloop.

Selain banjir bandang, dampak perambahan hutan oleh aktivitas bercocok tanam dan  pemukiman juga berpengaruh terhadap kondisi debet dan kualitas air di sumber mata air di kawasan Pegunungan Cycloops. Dosen Teknik Sipil Bidang Keairan pada Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih, DR. Mujiati Surianata mengatakan, permasalahan utama sumber daya air di Kabupaten dan Kota Jayapura adalah tekanan jumlah penduduk yang menempati Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga mengancam keberadaan cagar alam sebagai kawasan pengatur tata air dan iklim mikro.

Dosen Teknik Sipil Bidang Keairan pada Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih, DR. Mujiati Surianata (baju merah paling kiri) saat diskusi bersama Jurnalis Papua.

“Bahkan hasil penelitian kami, ada yang tercemar E-coli karena aktivitas beternak warga di DAS. Ini tentu berbahaya. Sebab  kualitas air bersih harus sesuai dengan baku mutu yang disarankan. Soal debet, pada musim kemarau antara September hingga November, terjadi krisis air sejumlah mata air seperti Entrop, Ajen dan Kamp Wolker sampai pada debet 0,” kata Mujiati.

Menurut Mujiati, setiap detik, ribuan hingga jutaan air mengalir dari Pegunungan Cycloops ke Danau Sentani, laut dan  beberapa sungai yakni Sungai Dosai, Sabron, Harapan, Klandili dan Sungai Kampwolker. Dan setiap detik pula, ratusan ribu liter air Pegunungan Cycloops diambil alih oleh PDAM, intasi pemerintah dan perusahaan swasta untuk memenuhi kebutuhan domestik.

“Sebenarnya potensi sumber air berlimpah namun belum dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Oleh karena sangat vitalnya peran Cycloop sebagai daerah tangkapan air, maka menjaga dan mengelola Cycloop harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, kelembagaan dan teknonologi,” katanya.

 

Perlunya Penegakan Hukum

Kasat Polhut pada BBKSDA Papua, Purnama Asari mengatakan menjaga Cycloop adalah tanggung jawab kita semua. Namun banyak pihak terlihat tidak peduli dan seakan membiarkan Polhut BBKSDA bekerja sendiri. Kasus terbanyak yang dilihat di lapangan, kata Purnama, adalah perambahan areal terbuka untuk berkebun di daerah penyanggah cagar alam. Sementara pemanfaatan kayu hanya sedikit karena masih bersifat tradisional untuk penyanggah rumah dan kayu arang.

Kasat Polhut pada BBKSDA Papua, Purnama Asari

“Sejauh ini kita melakukan langkah preventif dan represif. Susahnya dalam penegakan hukum terkait pelanggaran lingkungan ini adalah masyarakat yang masih di pinggiran kawasan. Sebab mereka akan tetap berkebun. Oleh karena itu, dengan USAID Lestari ini kita kerjasama untuk menggodok peraturan kampung atau adat dimana yang kita utamakan adalah penguatan kelestarian Cycloop untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Menurut Purnama, pihaknya pernah melakukan penegakan hukum di lapangan secara represif dengan menahan sejumlah pelaku yang adalah masyarakat setempat. Namun, kondisi ini memicu konflik antara petugas patroli dari Polhut BBKSDA dengan masyarakat. Ia pun mengisahkan pengalamannya pernah dikepung sejumlah perambah hutan di wilayah Angkasa dan diancam dengan senjata tajam.

“Sebenarnya, kalau mau tegas dan represif bisa, kalau kita didukung oleh Pemerintah Daerah, itu tak ada masalah. Artinya, penegakkan hukum harus melibatkan semua komponen. Kalau hanya berharap BBKSDA tidak mungkin. Makanya, kami berharap, dengan kejadian bencana banjir ini, benar-benar Pemda tunjukkan komitmen, kalau mau relokasi ya lebih baik. Sebab tantangan ke depan makin kompleks. Pembangunan makin banyak, pertambahan penduduk, tekanan politik dan sosial tinggi, ini juga aspek yang ikut berpengaruh terhadap penegakan hukum di bidang lingkungan dan kehutanan,” katanya.

Hal senada diakui Kepala Resort Moi Distrik Sentani Barat dan Waibu Ferdinand Manobi. Menurutnya, sejauh ini pihaknya masih tetap menggunakan pendekatan preventif dan persuasif menghadapi masyarakat yang merusak hutan dan lingkungan di wilayahnya.

“Kami juga rekrut sejumlah masyarakat menjadi mitra Polhut, banyak membantu kami untuk sadarkan masyarakat. Kondisi Cycloop mau dibilang aman, tapi buktinya kemarin banjir. Kalau mau dibilang rusak, tetapi tidak semua rusak,” katanya.

Staf USAID-Lestari Papua, Tifany Mnumumes, S.Si menilai salah satu tantangan penegakan hukum bagi aktivitas perambah kawasan penyangga adalah pandangan masyarakat yang melihat Cycloop sebagai identitas budaya mereka. Ditambah lagi kurangnya dukungan pemilik hak ulayat dalam membangun kepedulian terkait pentingnya penyelamatan cagar alam ini sebagai sumber kehidupan membuat daerah penyangga mudah dirambah untuk aktivitas berkebun dan tempat tinggal.

Staf USAID-Lestari Papua, Tifany Mnumumes, S.Si

“Semua data tentang kondisi kerusakan cagar alam Cycloop bukan untuk menyudutkan pihak tertentu tetapi biar kita tahu dan agar teman-teman wartawan bisa menyampaikan secara benar. Bagi kami, penegakkan hukum yang paling penting. Artinya, pemerintah harus tegas. Sementara penegakkan hukum di bidang kehutanan, kadang dianggap pelanggaran HAM, itu juga tantangan bagi Polhut,” kata Tifany.

Oleh karena itu, menurut Koordinator LandscApe Cycloop dari USAID-Lestari Papua, Deddy Rickson L., salah satu solusi adalah pelibatan masyarakat adat di setiap Dewan Adat Suku (DAS) melalui musyawarah adat. Hal ini, katanya, lebih memberi jaminan perlindungan dan pengelolaan Cycloop berbasis kearifan lokal.

“Komunikasi DAS, pemerintah dan masyarakat masih rendah. Oleh karena itu, musyawarah adat menjadi sangat penting. Karena kadang ketika ada patroli, ada penolakan dari masyarakat,” kata Deddy.

Untuk memulihkan cagar alam Cycloop yang kini rusak parah tentu membutuhkan waktu yang lama. Artinya, ancaman banjir bandang untuk wilayah Sentani akibat erosi masih sangat besar terjadi jika intensitas hujan ke depan masih tinggi. Lalu apa yang bisa menenangkan warga yang terdampak banjir bandang tengahan Maret 2019 lalu?

Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBKSDA Papua, Lusiana Dyah, S.Hut.MP

“Untuk saat ini, hanya ada dua cara yaitu adaptasi dan mitigassi bencana. Masyarakat Sentani harus belajar berdaptasi untuk hadapi perubahan iklim di daerah bencana. Sedangkan mitigasi terkait aspek mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencanan,” ujar Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBKSDA Papua, Lusiana Dyah, S.Hut.MP menjawab pertanyaan wartawan dalam sesi tanya jawab pada pelatihan itu. (Gusty Masan Raya)

 

 

Facebook Comments Box