Pemerintah Provinsi Papua berencana melakukan revisi terhadap Peraturan Gubernur Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat.

JAYAPURA (PB.COM) – Pemerintah Provinsi Papua berencana melakukan revisi terhadap Peraturan Gubernur Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray mengatakan, revisi ini dilakukan agar masyarakat adat mempunyai ruang untuk mengelola hutannya sendiri sebagaimana amanat dari undang undang Otonomi Khusus Papua (melalui Perdasus kemudian ditindaklanjuti menjadi Pergub), dan tidak bertabrakan dengan peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat baik Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan.

“Dalam perjalanan waktu sekian tahun, pergub ini sudah dijalankan. Tentunya ada regulasi lain seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (Permen) Kehutanan, tentu nya ini tidak boleh bertabrakan, sehingga kita usulkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria ) melalui Permen Kehutanan. Usulan itu kurang lebih tujuh tahun lalu, namun belum ada tanggapan hingga kini,” aku Jan Ormuseray dalam rapat pembahasan revisi Pergub, di ruang rapat kantor Dinas Kehutanan Papua, Jumat (12/7).

Rapat ini dihadiri perwakilan WWF -Indonesia Program Papua dan sejumlah perwakilan NGO serta Akademisi Uncen, Yusak Reba yang diminta memberikan analisa hukum terkait revisi Pergub tersebut.

Menurut Ormuseray, usulan NSPK terhadap Permen Kehutanan ini sudah diajukan sejak jaman Gubernur Papua, Barnabas Suebu hingga jaman Gubernur Lukas Enembe.

“Kita bertanya ada apa dengan pemerintah pusat? Pikiran rasional kita, mungkin karena ada benturan regulasi. Salah satunya, karena adanya uu nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian menarik kewenangan dari kabupaten ke provinsi, padahal dalam Pergub kewenangan perijinan juga ada di kabupaten/kota,” ungkap Ormuseray.

Oleh karenanya melalui rapat, dia berharap, ada kontribusi pemikiran dari setiap yang hadir, agar revisi ini benar dapat diterima. “Yah mudah-mudahan dengan perubahan kabinet Jokowi yang baru bisa sejalan dengan apa yang kita usulkan,” harapnya.

Beri Ruang Masyarakat Adat

Direktur World Wide Fund for Nature (WWF) – Indonesia Program Papua, Benja Victor Mambai mengapresiasi dinas kehutanan yang telah berinisiatif memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk bisa mengelola hutan yang ujungnya diharapkan ada peningkatan kesejahteraan melalui pendapatan yang layak dan adil, dari usaha pengelolaan hutan

“Dalam perkembangannya memang terjadi berbagai perubahan dalam tataran undang undang. Berangkat dari UU yang dikeluarkan termasuk Permen, kami melihat ini mungkin menjadi penyebab sehingga apa yang diperjuangan NSPK masih terus mengalami kendala,” katanya.

“Oleh sebab itu secara internal, kami ingin mendapatkan pencerahan dari aspek hukumnya bagaimana menyandingkan produk kebijakan pengelolaan hutan di papua dalam kontek otsus dengan kebijakan Permen dan lingkupnya secara nasional,” sambungnya.

Sementara itu menanggapi paparan yang disampaikan Kadishut, Akademisi Hukum Uncen, Yusak Reba memberikan pertanyaan balik. Apakah selama ini, Dishut dapat menerbitkan ijin bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan adat di Papua? Apakah ijin bisa digunakan oleh masyarakat adat atau tidak? Lalu Apakah di Papua ini sejumlah peraturan cukup memberikan legalitas termasuk gubernur untuk memberikan ijin pengelolaan hutan, kalaupun sudah diterbitkan apakah itu efektif bisa digunakan?

Menjawab pertanyaan itu, Jan Ormuseray melalui salah satu stafnya memaparkan bahwa sebagaimana undang undang kehutanan nomor 41 tahun 1999, pemberi ijin pengelolaan hutan ada di pusat dan daerah. Dimana kewenangan tertinggi tetap ada di pusat.

Sementara mengacu pada UU Otsus 21 tahun 2001 mengamanatkan pemberian kewenangan berdasarkan Perdasus tentang pengelolaan hutan berkelanjutan, secara tegas memberi mandat kewenangan pada kepala daerah dalam hal ini Gubernur. (Andi/Frida)

Facebook Comments Box