Panelis Seminar Hasil Investigasi MRP Terhadap Konflik di Nduga dalam buku Kekerasan tak Berujung di Nduga.

JAYAPURA (PB.COM) –Majelis Rakyat Papua (MRP) meluncurkan buku “Kekerasan Tak Berujung di Nduga, Senin (9/12/2019), di Horizon Hotel Jayapura. Buku ini ditulis berdasarkan hasil investigasi tim Pansus Hak Asasi Manusia (HAM) MRP di beberapa kabupaten, tempat masyarakat Nduga mengungsi akibat konflik.

Peluncuran buku yang digelar dalam bentuk seminar ini, menghadirkan beberapa panelis, yakni Ketua MRP, Timotius Murip, tokoh agama, Socratez Sofyan Yoman, Ketua Dewan Adat Papua, Dominggus Sorabol dan Diaz Gwijangge, tokoh masyarakat Nduga dan Gubernur Papua yang diwakili Assisten bidang pemerintahan Sekda Papua, Doren Wakerkwa.

Ketua MRP, Timotius Murip, kepada wartawan usai seminar, Senin sore mengemukakan, seminar peluncuran buku ini digelar setelah kasus kekerasan bersenjata di Nduga berjalan satu tahun. MRP membentuk Pansus untuk melakukan investigasi ke Kabupaten Yalimo, Wamena, Lanny Jaya pada Distrik Kuyawage dan perbatasan antara Nduga dan Wamena, dan salah satu distrik di Nduga.

“MRP telah mengumpulkan data-data kemudian mencatat beberapa kesaksian dari masyarakat yang mengungsi ke 4 kabupaten lain di mana mereka keluar dari Nduga karena konflik. Kami rangkum dalam sebuah buku yang diseminarkan, karena kasus ini, lembaga-lembaga lain juga sudah menggelar seminar juga, dan kami dari lembaga cultural membuat dalam sebuah buku “Kekerasan Tak Berujung di Nduga”. Ini bisa diperkaya, sehingga pada peluncuran buku berikut, di buku kedua, MRP diminta Komnas HAM RI, mereka (Komnas HAM) yang akan meluncurkan,” ungkap Timotius.

Katanya, semua yang diundang diberi ruang untuk memberikan masukan dari institusi masing-masing, sayangnya dari pihak Polda Papua dan Kodam Cenderawasih tidak hadir, meskipun sudah diundang. “Hasil seminar ini, kami akan kembangkan dengan buku kedua, sesuai saran audiens maupun empat narasumber yang kami hadirkan,” katanya.

Terkait jumlah pengungsi yang tersebar di luar Kabupaten Nduga, Timotius mengatakan, hampir separuh dari empat distrik telah mengungsi. Informasi yang MRP diterima dari berbagai pihak, sebanyak 400.000 jiwa sudah keluar Nduga, kemudian MRP melalui Pansus juga mengonfirmasi kepada keluarga yang mengungsi di Kuyawage, Wamena dan mereka mengatakan masyarakat sudah meninggalkan kampung-kampung mereka.

“Mereka (pengungsi) tidak memberikan catatan berapa jumlah penduduk yang mengungsi, tetapi hampir semua penduduk meninggalkan kampung mereka karena ketakutan (trauma),” ujar Timotius.

Mengapa pihaknya memilih judul “Kekerasan Tak Berujung di Nduga, jelas Timotius, karena seakan-akan konflik ini tidak akan selesai. MRP pun bukan hanya melihat konflik di Nduga, tetapi situasi konflik ini terjadi di Kabupaten Puncak, Mimika, Puncak Jaya, Lanny Jaya dan sekarang menetap di Nduga.

“Kebiasaan yang terjadi, kalau kedua belah pihak (aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata) ini konflik, yang benar-benar menjadi korban adalah rakyat kecil. Mereka sudah meninggalkan kampung mereka dan pergi seperti di Puncak Jaya dan 4 kampung sudah mengungsi ke Nabire, Timika dan Jayapura. Dan hal ini seakan-akan tradisi yang terus menerus terjadi di daerah pedalaman,” sesal Timotius.

Harapannya, melalui seminar ini banyak masukan saran pendapat karena ingin mendapatkan satu kesimpulan penyelesaian konflik itu dengan jalan damai. Terutama kepala daerah yang menurut Timotius punya tanggungjawab penuh terhadap penyelamatan nyawa orang asli Papua dan kehidupan mereka ke depan.

“Masukan saran dari hasil seminar tadi, mereka minta untuk libatkan kepada daerah sehingga MRP akan undang para bupati, wali kota untuk diskusi penyelesaian konflik, terutama di Nduga, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya yang selalu terjadi konflik,” tambahnya. Ia menambahkan, untuk TNI Polri tetap tidak terlepas karena mereka punya peranan penting untuk menyelesaikan konflik ini.

Samakan Persepsi Dua Kekuatan Besar

Ketika ditanya apakah akar persoalan sesunggguhnya dari konflik bersenjata di Nduga, Timotius mengungkapnya, konflik ini embrionya tercipta sejak tahun 1961 silam yang kemudian menjadi remaja, dewasa dan pecah setelah 56 tahun integrasi.

“MRP sebagai lembaga cultural harus bicara adat. Bicara dalam konteks adat berarti ada masalah yang sangat mendasar, bahwa di sini fondasinya lemah. Mau membangun Papua dengan fondasi yang lemah, tentu akan ambruk. Karena itu MRP akan memfasilitasi semua pihak untuk hadir, duduk dan selesaikan masalah itu dulu. Selesaikan dulu hal yang paling mendasar yaitu ideology,” terangnya.

“Mengapa Belanda menjahitkan bendera bintang kejora yang membuat semangat orang asli Papua yang mengira mereka sudah mendapat kekebasan tidak lagi bergabung lagi dengan Indonesia, tetapi berdiri sendiri. Dan cerita ini berlangsung turun temurun ke anak cucu, sehingga mereka merasa bahwa mereka memiliki teritori sendiri, bangsa sendiri, ingin berdiri sendiri. (Di sisi lain) Indonesia bersikukuh, Papua tetap bagian integral NKRI. Jadi dua kekuatan besar ini saling berbenturan hari ini,” lanjut Timotius.

MRP sebagai lembaga negara yang ada di daerah, satu-satunya di Indonesia, menurut Timotius harus menjadi media untuk bagaimana kedua kekuatan ini harus disatukan dan samakan persepsi yang berbeda ini, sehingga tidak lagi membuat rakyat jadi korban.

Lanjutnya, pemerintah punya keinginan yang baik untuk membangun seluruh Indonesia, terlebih khusus perhatian penuh ke Papua. Semangat Nawacita dari Presiden Jokowi sangat luar biasa tetapi tidak berjalan baik kalau MRP tidak memfasilitasi untuk semua pihak bicara kepentingan pembangunan di Tanah Papua. “Ini bukan masalah makan minum, hari ini masalah di mana-mana konflik TPN OPM ini karena masalah ideology,” imbuhnya.

Lagi menurut Timotius, harus ada solusi (yang ditawarkan) dari pemerintah pusat melibatkan pihak ketiga seperti yang pernah dilakukan di Aceh.

Kurangi Jumlah Pasukan di Nduga

MRP dalam kerja-kerja melalui Pansus HAM, kata Timotius, setelah seminar ini, akan menyampaikan dan menyurat resmi terutama ke TNI Polri supaya jangan lagi pada pasukan yang menetap di Nduga. “Kemarin kami sudah laporkan kepada wakil Presiden, dan akan menyurat resmi kepada Presiden supaya pasukan yang ada di sana dalam jumlah yang banyak itu harus dikurangi,” tegasnya.

“Kita tidak bilang tarik semua, tetap ada personil yang diperlukan saja. Tidak harus berlebihan. Kedua, Papua ini bagian dari NKRI, Nduga bagian dari NKRI. Kenapa warganya tidak bisa kita jamin, mereka punya hak untuk makan minum, mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan. Tetapi faktanya hari ini, mereka tidur di gua-gua, hutan-hutan, ini nyata. Negara punya tanggungjawab,” ujar Timotius.

Sebelumnya, dalam seminar, Diaz Gwijangge mengatakan, realitas hari ini, kehidupan orang Nduga, hak hidupnya terancam, 32 distrik di dalam wilayah itu masyarakatnya mengungsi ke beberapa kabupaten terdekat karena trauma akibat kekerasan bersenjata. Diaz berharap ada keseriusan sehingga kekerasan ini ada ujungnya.

Sementara dari dewan adat Papua, Dominggus Sorabol, ia melihat konflik di Nduga terbagi dua hal yakni kekerasan dan pengungsi. Ia pun berharap pemerintah tidak menutup mata. Pemerintah pusat, katanya, jangan terus menutup-nutupi soal konflik Nduga. Menurutnya, persoalan Nduga ini tidak terlepas dari konflik politik.

Pemerintah Provinsi Papua, melalui Assisten Bidang Pemerintahan, Doren Wakerkwa mengemukakan, jaminan keamanan dan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Pemerintah Provinsi Papua. Tetapi masalah Nduga bukan saja menjadi persoalan daerah tetapi sudah menjadi masalah global, sehingga harus diselesaikan. (Frida Adriana)

Facebook Comments Box