Para terdakwa kerusuhan Jayapura Agustus 2019 lalu, saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura.

JAYAPURA (PB.COM) – Peristiwa pembakaran dan pengrusakan dalam kasus kerusuhan di Jayapura pada akhir Agustus 2019 dalam aksi demonstrasi menolak rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP), memiliki pola yang sama dengan peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional.

Dalam siaran pers dari Tim Advokad Orang Asli Papua (OAP) yakni Sugeng Teguh Santoso, Frederika Korain dan Aloysius Renwarin, Senin (9/12/2019) mengemukakan, berbagai aksi pembakaran dan pengrusakan oleh massa kala itu terjadi di luar dugaan mahasiswa yang awalnya berlangsung damai. Atau tragedi tahun 1998, yang juga diwarnai dengan aksi pembakaran dan pengrusakan yang dalangnya belum terungkap hingga saat ini. Aksi pembakaran dan pengrusakan oleh massa kala itu diduga bermotif politik dan bertujuan demi terpenuhinya kepentingan kelompok perencana pembakaran.

Peristiwa pembakaran dan pengrusakan dalam kasus Jayapura, juga ternyata tidak bisa diusut tuntas oleh pihak kepolisian. Dalam sidang pemeriksaan saksi yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jayapura, terungkap fakta bahwa dari 25 terdakwa yang kini diadvokasi oleh Tim Advokat OAP, tidak terdapat seorang pun terdakwa yang didakwa dengan kasus pembakaran.

Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Moh. Ahli, anggota Polda Papua, dalam kasus dengan terdakwa Y. Ia mengatakan melihat terjadi pembakaran waktu terjadi kerusuhan, namun tidak mengetahui siapa pelakunya. Ia pun tidak tahu alasan pimpinannya tidak melakukan pengusutan pembakaran dalam peristiwa pembakaran tersebut.

Indikasi bahwa adanya pihak lain yang menunggangi aksi demontrasi menolak rasisme terhadap OAP, juga tampak dalam keterangan saksi Saripa dengan terdakwa Y. Saripa mengatakan bahwa saat itu aksi terjadi dalam 3 (tiga) gelombang pada hari yang sama. Gelombang pertama dan kedua, berlangsung damai. Sementara menjelang aksi gelombang ketiga, saksi mendengar bahwa gelombang ketiga akan melakukan pembakaran. Tidak lama kemudian terjadi pembakaran. Saksi tidak tahu pelakunya.

Hal senada terungkap dalam keterangan saksi Hendrik yang melihat pembakaran di depan rumah makan B-One, namun tidak mengetahui siapa pelakunya. Ia hanya sekilas mengetahui pelaku melompati pagar dengan sangat cepat dan seperti orang yang sudah terlatih. Anehnya, CCTV rumah makan B-One sempat terpotong dan tidak dapat merekam peristiwa pembakaran tersebut.

Demikian pula dalam keterangan Samin, pemilik toko Evan yang mengaku mengalami kerugian sekitar Rp 5 miliar. Ia mengaku pernah membuat laporan perihal pencurian dan pembakaran yang terjadi dalam peristiwa tersebut, akan tetapi polisi hanya menindaklanjuti kasus pencurian.

Dalam kesaksian Sekretaris KPU Provinsi Papua terhadap perkara H, pada tanggal 4 Desember 2019, dirinya menuju Polda Papua membuat laporan polisi perihal pembakaran Kantor KPU Provinsi Papua yang rata tanah pada 30 Agustus 2019 subuh. Namun hingga saat ini, belum ada tindak lanjut kepolisian atas laporan polisi tersebut. Justru di Polda, kepadanya disampaikan komputer yang diklaim penyidik sebagi milik KPU yg tercuri pada saat kebakaran.

Namun ada yang aneh, saksi mengaku bahwa semua fasilitas dalam ruangan KPU ludes terbakar, tidak ada yang tersisa, kecuali 1 (satu) buah AC outdoor dan genset.

Dari fakta-fakta tersebut, tampak bahwa kepolisian hanya fokus menindak peristiwa pengrusakan dengan menerapkan Pasal 170 KUHP, meskipun para terdakwa sejauh ini membantah mereka melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, sementara peristiwa pembakaran diabaikan. Pada para terdakwa tidak ditemukan alat bakar dan juga tidak ada tuduhan pembakaran. Pertanyaannnya, kelompok mana yang membakar? Dan mengapa tidak mampu diungkap?

Padahal, kerusakan massif atas bangunan bangunan dari Abepura sampai dengan Kota Jayapura, seperti kantor MRP, kantor KPU Provinsi, toko Evan, dan sebagainya adalah akibat pembakaran. Dibandingkan dengan kerusakan oleh pelemparan menggunakan batu, justru kasus pembakaran ini gagal diusut oleh polisi.

Mungkinkah ada pihak lain yang menunggangi aksi kerusuhan Jayapura pada Agustus 2019 lalu, dengan secara sengaja dan terencana melakukan pembakaran dan bertujuan demi terpenuhinya kepentingan kelompok perencana pembakaran, sehingga Polda Papua tidak mampu menjangkau untuk melakukan pengusutan secara tuntas?

Berdasarkan hal-hal tersebut, kami Tim Advokat OAP, menyatakan sikap, agar Kepolisian Daerah Papua mengungkap secara menyeluruh kasus kerusuhan Jayapura pada Agustus 2019. “Meminta dan mendesak Komnas ham membentuk tim pencari fakta untuk melakukan investigasi atas peristiwa  kericuhan , kerusuhan dan pembakaran akhir Agustus 2019 di Papua,” katanya.

Tim Advokad OAP juga meminta agar majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jayapura membebaskan para terdakwa  terkait kerusuhan Jayapura pada Agustus 2019. Karena selain dakwaan terhadap mereka dibuat secara serampangan, dari fakta persidangan selama ini tampak bahwa para terdakwa hanyalah kambing hitam dari kasus kerusuhan tersebut. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box