Para tenaga medis ruang isolasi Covid dan tim sample RS Dian Harapan saat bertugas dengan pakaian hazmat.

 

SUARA LELAKI paruh baya itu terdengar sedikit lemah di seberang. Ketika saya menelponnya semalam, dia mengaku baru saja tiba di kamar 305 di Hotel Metta Star Waena, usai menjalankan dinas sore. Dia adalah Eduardus  Putra Larto (34), perawat muda asal Manggarai Barat, Flores, NTT.

Sudah tujuh tahun, Edu bekerja di RS Dian Harapan Waena, fasilitas kesehatan milik Keuskupan Jayapura itu. Ketika Corona Virus Disease (Covid) melanda Papua dan jumlah kasus dari hari ke hari terus bertambah, rumah sakit tempatnya bekerja pun akhirnya menerima dan melayani pasien Covid.

Edu bercerita, sejak 17 Maret 2020 saat ia dan rekan-rekan perawat lain menyatakan diri siap bekerja di ruang isolasi Covid, mereka tidak pulang rumah usai menjalankan tugasnya. Sebab sesuai SOP, semua petugas medis, termasuk tim pengambil sampel, diwajibkan mengikuti karantina di tempat khusus. Tujuannya agar mereka tidak menularkan virus ke anggota keluarga bila pulang ke rumah.

Rumah Sakit Dian Harapan, Waena Jayapura.

 

“Ya benar, sudah dua bulan saya dan teman-teman belum pulang rumah. Kami awalnya diisolasi di Guest House milik rumah sakit. Lalu pindah ke Hotel Horison  Kotaraja. Dan sekarang, khusus RS Dian Harapan, kami tinggal di Hotel Metta Star Waena,” kata Edu.

Edu selama ini bertugas di Poli Mata RS Dian Harapan. Ia mengaku siap bekerja di ruang isolasi Covid ketika pimpinan memilihnya. Sekalipun, ia tahu pekerjaan ini berat dan penuh resiko. Edu teguh pada sumpah profesi yang sudah diambilnya. Apalagi, rumah sakit Katolik tempat ia bekerja, sangat mengutamakan kemanusiaan. Sebagaimana mottonya, Salus Aegroti Suprema Lex Est: Keselamatan Pasien Adalah Hukum Tertinggi.

Yang berat ya paling rasa rindu untuk ketemu anak istri. Anak saya masih kecil, yang sulung umur 3 tahun, satunya 1 tahun. Untuk lepas kangen, saya selalu video call dengan mereka sebelum dan sesudah kerja. Istri saya juga orang kesehatan, dia di lab RS Jiwa Abepura, jadi kami saling mengerti. Dengar-dengar, RS Jiwa juga siap terima pasien. Ini yang sedang saya kuatir, jangan sampai dia juga terlibat tangani pasien dan dikarantina, lalu bagaimana dengan anak kami,” ujar Edu.

Tanggal 28 April 2020, istri Edu berulang tahun ke-34. Momen berharga itu tak dihadirinya. Ia sudah terlanjur masuk tempat karantina. Untuk memberi semangatnya dalam bekerja, kadang ia sering menulis nama istri dan anaknya di baju hazmat yang dipakainya.

“Kita kekurangan tenaga, makanya tak bisa pulang dua bulan ini,” katanya.

Pengakuan yang sama datang dari Yosep Jalong, Amd.AK. Yosep dipercayakan sebagai Ketua Tim Sampel Pasien Covid-19. Ia punya dua anggota, Iforia Rensa, AMK dan Ika Wahyuningsih Iriani Amd.Kes. Tugas mereka juga penuh resiko dalam penanganan Covid di RS Dian Harapan. Mereka mengambil sampel darah dan swab pasien dan mengantarnya ke Litbangkes Papua untuk diperiksa dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Mobil milik URC saat menjemput jenazah pasien yang meninggal di RSDH Dian Harapan.

 

“Kami juga sudah tiga minggu tidak pulang. Pas istri saya ulang tahun 4 Mei, hari itu kami masuk karantina di Hotel Metta Star. Sebelumnya kami memang sudah bekerja begini tapi pulang rumah, karena Guest House rumah sakit penuh dengan perawat. Tapi sebenarnya kami juga kuatir pulang rumah saat itu. Karena kami tim sample paling beresiko. Kami yang ambil sample swab, dimana tempat virus itu berada. Dia bersin atau batuk kan dia keluarkan aerosol-nya, kami kena,” kata Yosep.

Hanya beranggotakan dua tenaga sampling bukan perkara mudah. Yosep mengaku sistem shift atau tugas bergantian, kadang kacau tak sesuai jadwal, ketika ada pasien baru yang harus diambil sampelnya. Waktu off atau libur pun kebanyakan hilang. Tetapi ia mengaku tetap semangat untuk bekerja.

“Yang paling tidak mengenakan ialah menggunakan APD baju hazmat yang begitu panas itu. Kami bernafas saja susah, oksigen kurang. Untuk perawat, dokter, mereka pakai 3-4 jam, kalau kami tim sample kadang 1-2 jam. Kecuali pasien lagi penuh, kami juga bisa pakai 3 jam. Kita berdoa situasi ini segera berakhir sehingga bisa bertemu keluarga seperti biasa,” ujar Yosep.

Iforia Rensa, anggota Tim Sampel Covid RS Dian Harapan mengisahkan hal yang sama. Tiga minggu tidak pulang rumah memang bukan hal yang mudah. Sebagai ibu dan istri, ia juga rindu dengan kedua anaknya dan sang suami. Rumahnya di Doyo, Kabupaten Jayapura.

“Kemarin tanggal 9 Mei, anak yang bungsu ulang tahun ke-11. Saya hanya bisa ucap ulang tahun lewat video call dengan dia. Tentu saja ditambah dengan doa dari jauh untuknya,” kata Iforia.

Jubir Satgas Covid Papua dr Silwanus Sumule bersama tim dan tenaga medis RS Dian Harapan berdoa sebelum melepas jenazah salah satu pasien Covid pada awal April 2020 lalu.

 

Pengabdian yang penuh resiko ini dijalani Iforia dengan senang hati. Hanya saja, ia sedih melihat jumlah pasien di Papua, khususnya Kota Jayapura terus bertambah. Ia berharap masyarakat bisa mengikuti himbauan pemerintah dan protokol kesehatan seperti wajib pakai masker kalau keluar rumah, jaga jarak, hindari kerumunan atau berkumpul, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan sedapat mungkin tinggal di rumah saja.

“Satu harapan semoga masyarakat juga sayang dengan kami, baik perawat dokter, dan petugas laboratorium. Kami sudah berkorban demi selamatkan pasien, kami berharap masyarakat bisa kooperatif ikut himbauan pemerintah. Kalau ada keluhan sakit, segera datang berobat ke fasilitas kesehatan. Jangan tunggu sakit sudah berat baru datang berobat,” tegas Iforia.

Direktur RS Dian Harapan dr. Ance Situmorang mengatakan sebagai rumah sakit mitra Pemerintah Provinsi Papua, pihaknya siap dan setia mendukung penanganan pasien Covid, baik yang positif maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

“Untuk RS Dian Harapan, mulai 2 April 2020 kami sudah membuka 30 tempat tidur di ruang Isolasi Covid, dimana alur pasien Covid dan  pasien non Covid dibuat berbeda,” kata Ance.

Direktur RS Dian Harapan, dr. Ance Situmorang ketika menerima bantuan HEPA Filter dari Kepala Dinas Kesehatan Papua Dr. Robby Kayame, SKM.M.Kes, Sabtu (02/05/2020)

 

Ance mengaku, untuk mendukung pelayanan dan operasional mereka, Pemerintah Provinsi Papua memang membantu rumah sakit yang dipimpinnya dengan sejumlah bantuan. Ada Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan hazmat bagi tenaga medis, alat kesehatan dan juga bantuan uang tunai sebesar Rp 500 juta.

Pasien Membludak RS Kewalahan

Jumlah pasien Covid-19 di Provinsi Papua dari hari ke hari terus bertambah. Juru Bicara Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Provinsi Papua, dr. Silwanus Sumule, Sp.OG(K) mengatakan berdasarkan data per 21 Mei 2020, terdapat 538 orang yang positif terinfeksi virus ini, dimana 394 pasien sedang dalam perawatan medis, 134 orang dinyatakan sembuh, dan 10 orang meninggal dunia.

Juru Bicara Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Provinsi Papua, dr. Silwanus Sumule, Sp.OG(K)

 

Ironisnya, lonjakan besar penambahan jumlah pasien Covid terjadi sepekan terakhir di Kota Jayapura. Berdasarkan data, dalam rentang waktu hanya dalam enam  hari yaitu 16-21 Mei 2020, tercatat ada 130 pasien baru yang terkonfirmasi positif terpapar virus corona di Bumi Port Numbay.

“Total kasus di Kota Jayapura per 21 Mei 2020 sebanyak 215 kasus, dimana 176 pasien sedang dirawat, 34 orang dinyatakan sembuh, 5 orang meninggal. Sementara ODP ada 765 orang dan PDP 64 orang,” kata Sumule yang juga Sekretaris Dinas Kesehatan Papua ini.

Update Data Perkembangan Covid-19 di Provinsi Papua per 21 Mei 2020.

 

Ia bilang, saat ini ada 1.000-an pasien terkait Covid yang sedang dirawat di 16 rumah sakit rujukan di Provinsi Papua. Jumlah ini tentu membuat rumah sakit dan petugas medis kewalahan menerima dan melayani pasien.

“Selain positif, yang hasil Rapid Test reaktif kita rawat, PDP kita rawat. Jadi saat ini ada 1.000 lebih pasien. Kalau saja kita bisa rawat secara isolasi mandiri bagi yang tanpa gejala, tentu lebih baik. Sebab Puji Tuhan, pasien positif kita di Papua itu 70-an persen pasien sakit ringan, bahkan ada yang tak bergejala,” katanya.

Untuk memaksimalkan penanganan medis, Sumule mengatakan Satgas Covid Papua telah menyediakan beberapa skenario. Pertama, menjadikan RSUD Abepura menjadi RS Khusus Covid-19. Kedua, meminta kepada semua rumah sakit milik pemerintah untuk menyiapkan kapasitas ruangan dan tempat tidur yang besar untuk pasien Covid. Ketiga, meminta rumah sakit mitra menyediakan minimal 30 bed bagi pasien Covid. Keempat, memanfaatkan fasilitas lain seperti Diklat Provinsi, Balatkes Papua dan beberapa hotel sebagai tempat karantina.

“Kami sadar bahwa rumah sakit sudah kewalahan menerima pasien. Kami dorong petugas kesehatan untuk tetap semangat kerja dengan profesionalitas tinggi. Jaga kekompakan agar pasien yang sedang ditangani bisa sembuh. Kami percaya Tuhan memberi kekuatan. Saat ini juga, terdapat 20-an tenaga medis yang terpapar Covid-19, terbanyak di RSUD Abepura,” urainya. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box