Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Jayapura Harold M. Pical, SKM.M.Kes bersama stafnya di Bandara Sentani Jayapura

PROVINSI PAPUA Papua sudah sepekan lebih telah membuka akses penerbangan dan kapal laut dari dan ke luar Papua. Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah persyaratan wajib dipenuhi oleh calon penumpang, baik yang berangkat maupun yang datang. Lalu bagaimana kesiapan Kantor Kesehatan Pelabuhan Jayapura sebagai salah satu instansi penting dalam mengurus perjalanan warga di Provinsi Papua?

Pemimpin Redaksi papuabangkit.com Gusty Masan Raya berbincang-bincang setengah jam dengan Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Jayapura Harold M. Pical, SKM.M.Kes melalui telepon seluler pada Senin pagi, 22 Juni 2020. Berikut petikan wawancaranya!

 

Tugas KKP di Masa Pandemi Covid-19 Ini Pasti Makin Berat. Bisa Dijelaskan?

Sejak kebijakan Pemprov Papua buka kembali bandara dan pelabuhan pekan lalu, tugas kita di KKP memang tambah banyak.  Kadang dari laut (pelabuhan—Red.) kalau sudah selesai bergeser ke udara (bandara—Red.), lalu ke laut lagi kalau ada kapal masuk. Jadi kadang sampai malam. Ya, tapi tetap kami jalani dengan semangat untuk melayani masyarakat. Untuk membantu kami, saat ini kami juga merekrut 11 relawan. Mereka biasa dengan rompi kuning membagi kartu kuning dan edukasi di lapangan dengan brosur-brosur dan layani penumpang.

Bisa Anda Ceritakan, Apa Sebenarnya Tugas Utama KKP Saat Keberangkatan Para Penumpang?

Sesuai protap, setiap penumpang akan kami ukur suhu badan mll thermal scener. Kemudian, secara adminitrasi, tugas utama KKP itu mengawasi 2 dokumen. Pertama, dokumen kesehatan dari pelaku perjalanan baik yang berangkat maupun yang pergi yaitu surat bebas Covid dari hasil Rapid Test atau PCR (Polymerase Chain Reaction). Jadi semua surat kesehatan penumpang itu kita validasi. Karena persyaratan untuk dia berangkat, semua hasil pemeriksaan Covid di luar Pelabuhan wajib divalidasi atau distempel oleh petugas KKP di seluruh Indonesia.

Kedua, kartu kewaspadaan kesehatan atau Health Alert Card (HAC) tentang keterangan perjalanan dan keterangan kondisi kesehatan penumpang yang berangkat atau sebelum masuk ke Papua. Kartu ini berisikan semua riwayat tentang penumpang. Di antaranya nama, umur, jenis kelamin, kebangsaan, nomor paspor/ KTP, alamat daerah tujuan, nomor telpon/handphone, datang dari kota/provinsi, tanggal kedatangan, nomor pesawat/kapal, nama pesawat/kapal, nomor kursi. Ini yang akan kita kirim ke Pemprov Papua dalam hal ini Dinas Kesehatan Papua.

Saya Mendengar Ada Kendala Teknis Terkait Kartu Kewaspadaan Ini Yang Merepotkan KKP?

Benar. Ini terkait penumpang yang memiliki kartu yang masih manual. Padahal kartu Kewaspadaan atau HAC ini sudah kita sosialisasi agar diisi secara elektronik atau digital agar mempermudah kita saat diberikan kepada Pemda. Jadi mau tidak mau, petugas kita edit lagi lalu masukkan ke elektronik.

Tapi kami memahami karena saat ini, di Terminal III Bandara Soekarno Hatta, terjadi ledakan penumpang, sementara petugas terbatas. Karena, tenaga KKP yang bertugas itu tiga shift 24 jam. KKP Cengkareng itu tidak cukup jadi didropping lagi dari KKP Surabaya, KKP Cilacap, dan KKP Makassar.

Hanya saja sejauh ini kami melihat, belum ada feedback balik dari Dinas Kesehatan Provinsi setelah kami kirim HAC itu. Apakah para penumpang yang baru tiba ini dipantau atau tidak, ataukah nama-nama ini ditransfer ke kabupaten/kota atau tidak, kami belum diberitahu. Padahal ini harus jadi perhatian karena justru akan muncul kasus virus lagi jika tidak ditindaklanjuti.

 Ada Salah Satu Syarat Yang Dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua Yaitu Pelaku Perjalanan Wajib Mendapatkan Surat Izin Keluar/Masuk Dari Pemda Setempat. Ini Bukan Wewenang KKP?

Benar! Jadi siapapuan yang mau berangkat ke luar Papua maupun yang datang ke Papua, juga wajib mengantongi Surat Izin Keterangan Keluar/Masuk dari Pemda yang mau didatangi atau ditinggalkan. Tapi itu bukan wewenang kami. Itu tugasnya Dinas Perhubungan. Kami hanya sebatas berkoordinasi. Jadi semua orang yang datang, wajib dulu tunjukkan di konter pertama diisi petugas KKP untuk cek dokumen kesehatan. Sebelum dia keluar, di konter ujung kiri kita ada Dinas Perhubungan, dimana penumpang diminta menunjukkan surat izin keluar masuk itu.

Contoh, beberapa hari lalu 10 orang yang baru tiba dengan pesawat Garuda dari Jakarta. Menurut pengakuan, mereka didatangkan untuk membangun salah satu GOR di Papua. Tetapi mereka tidak memiliki suart izin masuk ke Papua. Sehingga mereka itu kita isolasikan tersendiri di belakang untuk kita periksa ulang.

Mereka memang sudah ada bukti pemeriksaan kesehatan dari RSAD Gatot Soebroto pakai PCR. Tapi kita ingin pastikan lagi, jadi kita Rapid Test mereka. Hasilnya non reaktif semua. Sebab sekarang ini orang mau palsukan surat itu gampang. Karena surat-suratnya tidak punya barcode. Lalu kita ikuti dengan pernyataan yang harus mereka tandatangani bahwa jika tak ada izin dari Pemda di Papua, maka satu tahun kemudian mereka tak boleh masuk Papua lagi.

Guna Mencegah Penyebaran Wabah, Apakah Penumpang Yang Tiba di Bandara dan Pelabuhan di Jayapura Wajib Rapid Test Semua?

Tidak. Kita lakukan Rapid Test hanya untuk orang-orang tertentu yang kita curigai dari hasil komunikasi kita, dari hasil pelacakan kita, dan juga mengenal tanda dan gejala penumpang saat itu. Jadi kita tidak lakukan 100 persen ke penumpang yang baru tiba. Tapi hanya orang-orang yang kita curigai. Misalnya kepada 10 orang penumpang Garuda yang tadi saya ceritakan.

Hal yang sama juga pada penumpang KM Gunung Dempo. Pada Jumat, 19 Juni 2020, Pkl. 06.30 WIT, kapal ini sandar di Pelabuhan Jayapura membawa penumpang sebanyak 257 orang. Semuanya kita seleksi satu per satu dibantu KP3 Laut, Satpol PP dan pihak Pelni sendiri.  Dari hasil pemeriksaan itu, kita temukan ada yang tak punya dokumen kesehatan. Ada juga yang punya tapi sudah mati atau expired. Padahal di setiap KKP, semua penumpang yang naik diwajibkan mempunyai surat Rapid Test. Entah kenapa dia bisa lolos dari Surabaya. Saat kita periksa, dia reaktif. Langsung diambil swab di Labkesda tapi hasilnya belum keluar.

Apakah Alat Rapid Test Yang Dimiliki KKP Cukup?

Sejauh ini masih cukup. Kami berterima kasih kepada Pemprov Papua melalui Dinas Kesehatan Papua yang telah memberikan kami logistik berupa alat Rapid Test. Alat ini dipakai untuk memeriksa para pelaku perjalanan yang dicurigai oleh KKP. Jadi hanya untuk emergency.

Sementara untuk pelaku perjalanan masih antarwilayah di Papua dan Papua Barat, kami gunakan Rapid Test kami dimana belum dikenakan biaya. Kebetulan kemarin, ada yang sudah Rapid Test sudah sepuluh atau tiga belas hari lalu, tanggal 7 atau 8 Juni jadi sudah expired karena batas waktu surat Rapid Test hanya 7 hari. Jadi kita Rapid Test ulang pada 19 Juni saat kapal mau berangkat. Ada 125 pasien yang dengan tujuan Manokwari dan Sorong yang kita Rapid Test. Semuanya non reaktif, jadi berangkat semua.

Tetapi untuk yang berangkat ke luar Papua, penumpang diminta lakukan Rapid Test secara mandiri alias bayar sendiri. Seperti yang berangkat kemarin dengan KM Gunung Dempo, ada sekitar 1.000 lebih penumpang yang berangkat dengan tujuan Kendari, Makasar, dan Surabaya. Untuk mereka ini, Rapid Test mandiri di fasilitas layanan kesehatan di luar KKP.

Saya Mendengar Ada Insiden Yang Membuat KM Gunung Dempo Terlambat Berangkat Dari Pelabuhan Jayapura. Bisa Anda Ceritakan?

Jadi saat proses penumpang naik ke KM Gunung Dempo, ada  sekelompok orang yang melintasi pagar darurat karena merasa jenuh dan takut tidak diberangkatkan sehingga lolos masuk ke kapal. Ada juga yang tanpa tiket.

Jadi terpaksa kami ambil kebijakan, semua penumpang yang sudah naik di kapal, turun lagi. Kami periksa semua penumpang satu per satu dibantu KP3 Laut, Pelni, dan Satpol PP. Kapal yang harusnya berangkat sekitar Pkl. 11.30 WIT, molor beberapa jam dan baru berangkat Pkl. 19.00 malam. Sempat tegang di antara penumpang dan petugas, tapi kami bersyukur dibantu tokoh agama Pdt. Jhon Baransano. Beliau mampu meredam dan menenangkan mereka.

Apa Saran Bapak Untuk Pemda Papua Dalam Rangka Pencegahan Wabah Ini?

Saran saya kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesehatan, baik di Provinsi Papua maupun kabupaten/kota, harus menggiatkan Puskesmas dan memperkuat surveilansnya. Itu yang harus digali segera. Sebab di Provinsi dan Kabupaten itu level kebijakan, sementara yang pelaksana itu di tingkat bawah. Selain Puskesmas, juga libatkan RT/RW dan tokoh agama. Buatkan link, jaringan sehingga Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang mau masuk ke suatu wilayah, pihak-pihak ini sudah tahu. Ini harus disosialisasi. Tujuannya,  agar masyarakat bisa diedukasi bahwa ODP tak boleh ditolak, tak boleh distigma atau di-bully.

Peranan lain yang tak kalah penting adalah para tokoh agama. Misalnya para Pendeta untuk Kristen. Dalam siatuasi wabah seperti ini, peran Pendeta sangat dibutuhkan masyarakat. Seperti kemarin, saat kita di pelabuhan. Semua penumpang ribut. Tapi saat  Pdt. Jhon Baransano bicara, mereka bisa dengar. Apalagi psikologi masyarakat saat menghadapi Corona ini umumnya tak stabil. Tidak sabar, cepat tersinggung, dan marah. Para pendeta dan tokoh agama adalah populasi kunci untuk meredam situasi. Tampil menenangkan warga.

Mari kita perkuat pencegahan. Utamakan tindakan preventif dan promotif, tetapi tidak mengabaikan kuratif atau penyembuhan bagi pasien. Kalau kita kedepankan kuratif saja, ya matilah kita semua oleh virus ini. (*)

Facebook Comments Box