Pastor Paulus Wolor, Pr

Usia imamat 25 tahun bukan waktu yang singkat. Kesetiaan menjalankan pelayanan bagi umat dan karya misi di tengah segala tantangan sekarang bukan perkara mudah. Tetapi bagi Pastor Paulus Wolor, Pr, ia menjalaninya penuh nikmat, tenang, dan santai  bagai air mengalir. Motto tahbisan imamatnya pada 8 September 1995 ternyata menjadi kekuatannya selama 25 tahun menjalani panggilan Tuhan ini: “Yang Ada Padaku Hanya Ini” (Mat 14: 17).

Papuabangkit.com menyambangi Pastor Paul di Pastoran Paroki Kristus Terang Dunia Waena (KTDW), tempat ia berkerja sekarang ini sehari sebelum perayaan berlangsung. Berbincang-bincang dengan Sang Yubilaris setengah jam lamanya tentang perjalanan hidup dan karyanya.

Pastor Paul Wolor, Pr adalah putra kedua dari 8 bersaudara buah hati Aloysius Wiju Wolor dan Agustina Ago Liwu kelahiran Wolorona, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, 19 Agustus 1963. Ia ditahbiskan menjadi Pastor Keuskupan Larantuka, Flores Timur pada 8 September 1995 oleh Uskup Ende Mgr. Donatus Djagom, SVD. Lalu bagaimana kisahnya sehingga ia bisa masuk dan bekerja di Tanah Papua?

Simak petikan perbincangan Pastor Paulus Wolor, Pr dengan Pemimpin Redaksi papuabangkit.com Gusty Masan Raya berikut ini!

Saya dengar ada kisah unik tentang motivasi awal Pastor saat kecil sehingga akhirnya memilih jadi pastor. Bisa diceritakan?

Keinginan saya jadi pastor berawal dari melihat kehadiran para pastor misionaris di stasi tempat tinggal kami di Wolorona, kampung yang berada di belakang Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur. Kebetulan ayah saya waktu itu sebagai seorang pewarta, guru agama. Pastor Cor Vermollen, SVD selalu datang mampir di rumah, dan mama menyiapkan makan yang enak-enak. Jadi motivasi pertama ya mau makan enak. Motivasi kedua ingin tungggang kuda dengan pakai topi koboy dan ingin naik sepeda. Setelah sarapan bersama pastor ke Gereja dan kami anak-anak selalu memikul tas pastor keliling kampung. Itu yang membuat saya akhirnya memilih masuk Seminari Menengah San Dominggo Hokeng.

Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur, NTT

 

Berarti peran keluarga sangat kuat dalam panggilan menjadi Pastor?

Benar. Ayah saya seorang tamatan Amback School, seorang tukang jahit. Dulu Pastor Boummans SVD sempat bawa dia keliling bangun Ritapiret dan Ledalero lalu kembali ke Hokeng. Sedangkan ibu lama tingggal di biara suster SSpS pada masa mudanya. Karena didikan Pastor Beland, ayah saya jadi sangat disiplin, tegas, rapi, tenang, dan tidak banyak bicara tetapi berbuat. Ibu seorang yang sangat lemah lembut. Ayah dan ibu jarang bertengkar. Saya mengamati kalau ada hal-hal yang tidak beres dalam keluarga, setelah kami anak-anak tidur ayah dan ibu berdiskusi. Setiap malam kami wajib berdoa bersama dan setiap hari minggu wajib ke gereja. Kecuali sakit berat tidak bisa jalan. Itulah ayah saya.

Tapi benarkah sesudah masuk Seminari Hokeng sempat keluar? Lalu bagaimana bisa masuk frater dan akhirnya jadi pastor?

Haha….ya benar. Saya sempat keluar saat kelas satu karena Bahasa Inggris 5 di Seminari Hokeng. Kemudian saya lanjutkan ke SMA Sint Gabriel Maumere Jurusan Perkantoran. Suatu waktu, ketika saya sudah tamat dari situ, saya bertemu dengan Pastor Hilarius Moa Nurak, SVD (almarhum mantan Uskup Pangkal Pinang) di pertokoan Maumere. E Polce, esok ada test di Seminari. Kau ikut saya sekarang, begitu kata Pastor Hilarius. Dan akhirnya saya test, lolos, dan tahun 1986 saya masuk Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere.

Sesudah ditahbiskan, Pastor bertugas di mana saja?

Setelah ditahbiskan menjadi imam saya sudah berkelana dari tempat ke tempat, istilahnya dari Sabang sampai Merauke. Pertama, saya bertugas di Paroki Santa Maria Bintang Laut Ile Ape Lembata. Kemudian tahun 1996-2000 saya bertugas sebagai ekonom dan Pembina di Seminari San Dominggo Hokeng. Sesudah itu saya menjadi Pastor Paroki Santa Maria Banneux Lewoleba.

Satu tahun di Lembata, saya dikirim bekerja di Keuskupan Sibolga, Sumatera Utara selama tahun 2000-2016. Mula-mula saya di Paroki Katedral Santa Theresia Sibolga selama 3 bulan, lalu menjadi Pastor Paroki Gembala Yang Baik Gunungsitoli, dan Pastor Ad In Terim Santo Andreas Kepulauan Tello. Uskup Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, OFM Cap kemudian minta saya sebagai Rektor Seminari Santu Petrus Aek Tolang Sibolga sekaligus Kepala SMA Fransiskus Sibolga. Di saat itu kami buka program KPA Seminari sehingga sesudah tamat SMA, ada yang terpanggil masuk seminari. Sesudah itu, tahun 2006 saya kembali ke Larantuka jadi Pastor Paroki Reinha Rosari Larantuka, lalu menjadi Direktur PT. Reinha Rosari Larantuka.

 

 

Lalu bagaimana ceritanya bisa masuk ke Papua?

Untuk masuk Papua sebetulnya tidak ada dalam bayangan. Hanya waktu masih di Seminari Hokeng saat sebagai pembina dan Ekonom, ada satu siswa seminari dari Papua yang sekarang sudah jadi pastor. Namanya Pastor James Kosay, Pr. Orang tua  menghantar Pastor James sekolah di Seminari Hokeng lalu sering ke rumah saya dan di Sesabanu. Saya mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa suatu waktu ketika James ditahbiskan pasti saya datang ke Papua. Ternyata rencana dan kehendak Tuhan lain. Dua tahun sebelum Pastor James Kossay ditahbiskan, saya sudah di Papua.

Semua itu berawal dari kebutuhan akan tenaga pembina di seminari. Bapak Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar, OFM kala itu meminta Komisi Seminari KWI untuk mencari tenaga pastor untuk kebutuhan ini. Saya memang diminta oleh Sekjen Komisi Seminari waktu itu, RD Domi Kusuma Wanta, Pr saya tetapi saya katakana bahwa itu  urusan antar Uskup.

Tidak lama berselang Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung, Pr telpon saya. Saya datang bertemu Yang Mulia di San Dominggo, dan beliau meminta saya membantu Uskup Leo. Saya pun bersedia dan saya katakan akan melaksanakan tugas ini sesuai apa yang sudah saya tunjukkan di Seminari Sibolga. Jadilah saya ke Papua tahun 2011. Memang saya punya kecintaan tersendiri untuk pendidikan calon imam. Ada rasa senang dan bangga bisa dipakai Tuhan untuk mempersiapkan para calon imam kita.

 

Pastor Paulus Wolor, Pr bersama para siswa SMAK Seminari St Fransiskus Asisi Waena

 

Jadi sesudah itu Pastor akhirnya bertugas di Seminari Menengah Santu Fransiskus Asisi Waena?

Iya, mula-mula jadi pembina lalu jadi rektor, dan kemudian jadi Kepala SMAK Seminari Santu Fransiskus Asisi Jayapura hingga 2020. Beberapa tahun saya hidup dengan seminaris, yang 70 persen anak-anak Asli Papua, saya menemukan bahwa ternyata mereka itu cerdas-cerdas. Keterbatasan akses dan fasilitas pendidikan di pedalaman selama SD dan SMP yang membuat mereka kurang ditempa. Dan mereka ingin kami sebagai Pembina, sebagai guru harus menjadi contoh, memberikan praktik yang baik dulu.

Berarti saat pastor pimpin misa Minggu Palma 5 April 2020 dan sempat meneteskan air mata, pastor baru memimpin Paroki KTDW ini?

Iya. Momen itu ketika saya belum sampai sebulan menjadi Pastor Paroki Kristus Terang Dunia Waena (KTDW). Saat itu memang saya merasa sangat sedih karena akibat pandemi  Covid, saya pimpin misa sendiri berhadapan dengan bangku-bangku kosong. Padahal, di hari raya Minggu Palma di tahun-tahun sebelumnya, umat selalu penuh mengisi gereja dan setiap saya reciki air berkat mereka minta yang banyak agar mereka basah. Itulah yang buat saya tak bisa tahan keluarkan air mata ketika berkotbah dan mengingat momen perayaan tahun sebelumya.

Lumen Christi salah satu program pastoral di masa pandemi Covid yang dikembangan Paroki KTDW di kanal Youtube

 

Enam bulan memimpin Paroki KTDW, apa ada tantangan yang dialami Pastor?

Sejauh ini tidak karena saya selalu memberi diri, membuka diri, berkomunikasi dan mendengarkan umat. Prinsip pelayanan saya di semua tempat, saya datang tidak bawa konsep. Datang lihat dulu baru kita diskusikan apa yang harus kita lakukan. Di paroki ini banyak sekali orang muda potensial. Contohnya di Multimedia dengan peralatan yang canggih. Di tengah pandemi ini kami bersama DPP pun akhirnya mengembangkan pastoral secara digital ketika semua aktivitas dari rumah saja.

Maka yang pertama, kita menerbitkan Lumen Christi berupa renungan pagi. Bacaan Kitab Suci dari hari itu sesuai kalender liturgi, ada renungan singkat dan doa serta berkat dari pastor. Yang kedua ada banyak program DPP yang bagus yang belum terealisasi. Kita memakai sarana multimedia paroki dengan berkatekese ala waroeng. Maka lahirlah Waroeng Katekese. Di warung ini program DPP yang belum terlaksana dibicarakan.

Selain itu, sebagai Pembina Kelompok Doa Kongregasi Bunda Hati Tersuci Maria (KBHTM). Kelompok Doa yang berpusat di Kupang, NTT ini dibentuk dengan tujuan untuk membangun sikap iman kepada Bunda Maria sebagai Bunda Yesus lewat devosi.

Saya ingin kelompok ini harus berkembang dan makin banyak anggota, terutama anak-anak. Dulu dipimpin oleh Opa Jack Titirloloby, pensiunan Guru SMA Taruna Bhakti tetapi karena sudah tua sekarang dipimpin Pak Ricky.

 

Dalam usia 25 tahun, Pastor tetap menggunakan  Motto Tahbisan sebagai motto perayaan ini? Apa makna motto ini bagi perjalanan karya Pastor?

Motto “Yang ada padaku hanya ini” adalah cermin diri saya, yang menguatkan saya selama 25 tahun imamat. Saya harus menjadi orang yang rendah hati, memberikan semua yang ada dalam diri utuh-penuh untuk kebahagiaan dan keselamatan orang banyak. Membiarkan diri dipecah-pecah dan dibagikan kepada orang dalam pelayanan. Kerendahan hati menerima secara realistis kemampuan dan keterbatasan, menerima apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Kerendahan hati kemauan untuk menjadi diri sendiri dan melakukan yang dapat kita lakukan.

Dengan moto ini, saya juga mengajak umat Paroki KTDW untuk menghayati sikap kerendahan hati dan kesetiaan. Dari lima potong roti dan 2 ekor ikan kita sungguh memberikan diri dan kekurangan itu dengan sendirinya dipenuhi oleh Tuhan. Kemudian, kesetiaan dalam tugas pelayanan itu. Terbuka dan berbicara dengan Tuhan dan sesama.

Apa pesan khusus Pastor bagi pertumbuhan panggilan menjadi calon imam di Papua?

Pesan motivasi saya bagi seminaris, harus membuka diri untuk didampingi oleh para pembina dan guru. Disiplin mengkuti aturan yang ada. Aturan itulah yang membentuk  kehidupan kita. Tekun belajar, di seminari semua lengkap tinggal secara pribadi kita menggunakannya. Membangun relasi yang baik dengan teman-teman, para guru dan pembina dan terlebih relasi dengan Tuhan. Kita biar pintar, biar hebat tapi tanpa penyertaan Tuhan semua akan sia-sia.

Kepada para pastor pembina dan guru, haruslah ingat bahwa karena seminaris kita ada. Karena itu sungguh memberikan diri bagi anak-anak. Pastoral kehadiran kita penting. Anak-anak kita melihat apa yang kita buat (contoh hidup). Kadang mereka jenuh, bosan dengan kata-kata kita, maka contoh hidup lebih menarik untuk mereka. Kurangi kata-kata dan lebih banyak berbuat.

Untuk orang tua, jangan takut memberi anak bersekolah di seminari. Mendorong anak-anak kita untuk berskolah di seminari. Soal menjadi imam itu urusan pribadi anak dengan Tuhan. Banyak hal tidak terduga dalam perjalanan waktu akan muncul dalam diri anak kita. Anak kita akan menjadi anak hebat kalau orangtua memberi hati dan dukungan kepadanya. (Gusty Masan Raya)

 

Facebook Comments Box