Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando menunjukan buku Impact Stories dari Perpusnas saat pembukaan Rakornas, Senin (22/03/2021).

 

JAKARTA (PB.COM)— Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando meminta seluruh insan perpustakaan di Tanah Air harus menguatkan peran perpustakaan dalam mentransfer pengetahuan bagi seluruh anak bangsa hingga ke pelosok-pelosok nusantara.

Hal itu disampaikan Syarif Bando dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Bidang Perpustakaan 2021, Senin (22/03/2021). Rakornas bertema Integrasi Penguatan Sisi Hulu dan Hilir Budaya Literasi dalam Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural ini dibuka secara resmi oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, Suhajar Diantoro mewakili Mendagri Tito Karnavian.

“Konsolidasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan di bidang perpustakaan secara  intens dilakukan dalam Rakornas, sehingga perpustakaan sebagai leading sector dalam peningkatan literasi, inovasi, dan kreativitas bisa mewujudkan masyarakat berpengetahuan dan berkarakter,” kata Syarif Bando saat membuka Rakornas dari Gedung Layanan Perpusnas, Jakarta, Senin (22/03/2021).

Menurut Syarif, Rakornas bertujuan menguatkan peran perpustakaan dalam transfer pengetahuan untuk meningkatkan budaya literasi sekaligus berperan dalam pemulihan ekonomi nasional. Diakui teori ilmu perpustakan yang relevan saat ini adalah transfer of knowledge.

Berbeda dengan tahun lalu, Rakornas yang digelar pada 22-23 Maret ini dilakukan secara virtual atau daring dengan menggunakan aplikasi Zoom maupun lewat media sosial Perpusnas. Sebanyak 10.000 peserta ikut dalam kegiatan ini.

Syarif menegaskan, literasi adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan yang menjadi kunci utama untuk berdaya saing. Tugas kita saat ini adalah memastikan sisi hulu berperan optimal dan berfungsi baik sekaligus memastikan kebutuhanbahan bacaan bagi 270 juta penduduk terpenuhi.

Ia menjelaskan, ada 4 tingkatan literasi yakni pertama, kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bahan bacaan. Kedua, kemampuan memahami apa yang tersirat dari yang tersurat. Ketiga, kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan baru, teori baru, dan kreativitas serta inovasi baru hingga memiliki kemampuan menganalisis informasi dan menulis buku. Keempat, kemampuan menciptakan barang atau jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global.

Perspektif literasi Indonesia, lanjut Syarif,  masih sedang pleh karena rendahnya kemampuan akses informasi terkait TIK, kurangnya ketersediaan dan akses terhadap informasi yang berkualitas, dan ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang relevan.

“Maka dari itu solusinya adalah peningkatan akses informasi, penguatan infrastruktur informasi dan penguatan konteks informasi bagi individu. Dengan begitu menghasilkan keadilan informasi dan peningkatan literasi sehingga berdampak pada kesejahteraan,” ujar Syarif Bando.

Berdasarkan hasil kajian, tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia tahun 2020 mencapai 55,74 persen dan pada 2019 mencapai 53,84. Hal ini masuk kategori sedang. Frekuensi membaca 4 kali/pekan, durasi membaca 1 jam 36 menit/hari, jumlah 2 buku/triwulan. Sementara untuk tahun 2022 nilai kegemaran membaca masyarakat ditargetkan mencapai 63,3 dengan indeks pembangunan literasi masyarakat 13.

Oleh karena itu, menurut Syarif, kebijakan dan sinkronisasi pengembangan perpustakaan pusat dan daerah diperlukan guna mewujudkan pembangunan literasi dan kegemaran membaca masyarakat. Indikatornya meningkatnya nilai kegemaran membaca masyarakat dengan target 2024 adalah 71,3 persen dan nilai indeks pembanguna literasi masyarakat pada tahun 2024 mencapai 15. Untuk itulah diperlukannya sinergi antar kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lainnya.

 

Sejalan dengan Perpusnas

Sementara itu, Suhajar Diantoro mewakili Mendagri Tito Karnavian mengatakan Kemendagri mendorong terwujudnya budaya literasi yang sejalan dengan sasaran strategis Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Hal ini guna mewujudkan pembangunan literasi dan kegemaran membaca masyarakat serta target kinerja urusan perpustakaan di provinsi dan kabupaten/kota.

“Usaha-usaha integrasi dari hulu ke hilir yang melibatkan berbagai sektor dalam memperkuat budaya literasi harus terus dibangun. Dari hulu, dibutuhkan kesadaran pentingnya perpustakaan oleh kepala daerah,” tuturnya.

Menurut Suhajar, sudah saatnya kelembagaan perpustakaan berdiri sendiri. Pasalnya, ketika kelembagaan masih digabung, maka penganggaran terkait literasi juga akan terbagi. Untuk itu diwujudkanlah dukungan APBD bagi pembangunan perpustakaan daerah dalam meningkatkan indeks literasi dan kegemaran membaca.

Namun, kata Suhajar, kendalanya adalah keterbatasan sarana dan prasarana perpustakaan, ketersediaan koleksi buku yang memadai dan sesuai kebutuhan masyarakat, keterbatasan SDM pengelola perpustakaan, keterbatasan pemahaman tentang penyelenggaraan urusan perpustakaan serta keterbatasan dukungan anggaran.

“Padahal, Indonesia memiliki 164.000 jumlah perpustakaan, dan menjadi negara kedua dengan jumlah infrastruktur perpustakaan terbanyak setelah India yang berjumlah 323.605 perpustakaan,” urai dia.

Pada 2019, banyak kepala daerah belum menganggap penting keberadaan perpustakaan. Ada 33 kabupaten/kota yang sudah membentuk kelembagaan perpustakaan setingkat dinas. Ada 23 kabupaten/kota belum memiliki perpustakaan. 458 kabupaten/kota menggabungkan perpustakaan dengan lembaga lainnya.

Oleh karena itu, Suhajar  meminta para kepala daerah di seluruh Indonesia berperan atas kesadaran pentingnya perpustakaan. Pemerintah perlu mendorong agar budaya literasi tidak bisa ditawar, untuk menjawab tantangan peningkatan sumber daya manusia. Dukungan penuh dari APBD dan peningkatan kualitas SDM sangat mutlak.

“Perpustakaan daerah harus membangun kerja sama dengan berbagai lembaga dengan mengusung program inovatif untuk turut mengatasi permasalahan seperti minimnya anggaran, kurangnya sumber daya manusia, meningkatnya kebutuhan informasi pemustaka serta perbaikan standarisasi penyediaan dan pengelolaan data yang terintegrasi baik pada tingkat pusat maupun daerah,” ujar Suhajar.

Ia menegaskan, Pemda harus mendorong konsep perpustakaan yang lebih inklusif, sebagaimana perpustakaan modern pada umumnya. Serta mengintegrasikan seluruh layanan perpustakaan daerah baik secara offline maupun online sehingga memudahkan akses masyarakat dalam mendapatkan bahan bacaan.

Dalam Rakornas ini, tampil sejumlah pemateri di antarnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, dan Bupati Magetan Suprawoto. (Gusty Masan Raya/Rilis)

Facebook Comments Box