Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa saat bertemu masyarakat wilayah Degeuwo, guna mendengarkan keinginan mereka keluar dari Kabupaten Nabire kemudian bergabung dengan Kabupaten Dogiyai. Pertemuan itu berlangsung tahun 2018 lalu.

 

JAYAPURA (PB.COM)—Bupati Kabupaten Dogiyai Yakobus Dumupa mengemukakan, perundingan tapal batas antara Pemerintah Kabupaten Dogiyai dan Nabire, Papua mengalami jalan buntu alias deadlock. Perundingan yang melibatkan sejumlah pihak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Papua tersebut dilakukan secara langsung maupun virtual melalui zoom meeting itu berlangsung di ruang rapat Hotel Novotel Mangga Dua Square Jakarta, Selasa (6/4 2021) lalu.

“Selaku Bupati Dogiyai saya menolak tapal batas antara Kabupaten Dogiyai dan Nabire. Oleh karena belum ada kata sepakat, kampung-kampung di wilayah Degeuwo seperti kampung Ugida, Tibai, Mabou, dan Epomani masih dalam sengketa antara Nabire dan Dogiyai. Meski, secara de jure dan de facto Degeuwo berada dalam wilayah Nabire,” ujar Bupati Yakobus dalam keterangan yang diterima dari Moanemani, kota Kabupaten Dogiyai, Sabtu (10/04 2021).

Perundingan tapal batas antara Pemerintah Kabupaten Dogiyai dan Nabire yang berlangsung di hotel Novotel Mangga Dua Square Jakarta, jelas Yakobus, dihadiri juga pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua. Para pihak itu antara lain Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) Nabire, Tim PBD Dogiyai, Pemerintah Provinsi Papua, Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), dan Direkotrat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.

Menurut mantan anggota Majelis Rakyat Papua ini, pertemuan antara pihak Pemerintah Dogiyai dan Nabire mengalami jalan buntuh terkait tapal batas Dogiyai dan Nabire di wilayah Degeuwo.

“Saya menolak tapal batas Dogiyai dan Nabire di wilayah Degeuwo. Saya langsung memerintahkan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Dogiyai, Pak Lukas Wakei untuk tidak menandatangani berita acara penegasan tapal batas. Perlu dilakukan perundingan ulang kedua belah pihak di waktu mendatang,” kata Yakobus.

Oleh karena belum menemui kata sepakat terkait tapal batas dua kabupaten “kakak-beradik”, jelas Yakobus, ada sejumlah langkah yang ditempuh bersama. Pertama, tapal batas wilayah pemerintahan antara Dogiyai dan Nabire terdahulu, dinyatakan masih tetap berlaku. Kedua, Pemerintah Provinsi Papua diminta pihak Kemendagri memfasilitasi penyelesaian penegasan tapal batas wilayah Dogiyai dan Nabire. Ketiga, hasil penyelesaian penegasan tapal batas dua belah pihak yang sudah disepakati agar dilaporkan kepada Kemendagri.

Pada bagian lain, menurut Yakobus, alasan penolakan penegasan tapal batas sesuai aspirasi masyarakat sejumlah desa/kampung di wilayah Degeuwo. Masyarakat di wilayah ini seperti kampung Ugida, Tibai, Mabou, dan Epomani menghendaki keluar dari Nabire dan bergabung di Dogiyai. “Kampung-kampung ini sangat jauh dari Nabire dan kesulitan dalam aspek pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Sedang jarak ke Dogiyai lebih dekat. Dari aspek kekerabatan sosial dan wilayah adat, Degeuwo masuk wilayah Dogiyai. Masyarakat wilayah ini merupakan bagian tak terpisahkan satu sama lain,” kata Yakobus. (Gusty Masan Raya/Ansel Deri)

Facebook Comments Box