Oleh dr. Eka Fatem, M.Epid*

MASYARAKAT dunia saat ini tengah diliputi kecemasan mendalam terhadap ancaman penyakit baru yang disebabkan oleh Coronavirus jenis baru yang disebut Covid-19. Infeksi virus yang bermula di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019 lalu, telah menginfeksi setidaknya 145.695 orang, dan menyebabkan kematian kurang lebih 5.436 di seluruh dunia (Worldometers coronavirus).

Namun saat ini, trend Covid-19 telah berubah. Di saat Cina sudah mulai mengalami penurunan jumlah kasus, justru di luar Cina malah mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Italia adalah negara ke 2 terbesar setelah Cina, yang mengkonfirmasi kasus positif Covid-19, diikuti oleh Iran dan Korea Selatan (Worldometers coronavirus).

WHO (World Health Organizatition) pada Rabu, 11 Maret lalu menyatakan infeksi Covid-19 adalah pandemik.  Artinya bahwa infeksi Covid-19 ditemukan hampir di seluruh negara yang ada di dunia, dengan jumlah kasus dan kematian yang terus meningkat.

dr. Eka Fatem, M.Epid.

Hal ini dikarenakan tingkat penyebaran yang meluas, salah satunya karena tingkat mobilisasi penduduk yang tinggi (menggunakan pesawat terbang, kapal, dll) merupakan salah satu factor penyebaran penyakit.

Indonesia pun tak luput dari ancaman global virus ini; pada tanggal 2 Maret lalu Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus positif Covid-19 berjumlah 2 pasien di Indonesia. Terakhir, per 14 Maret 2020 dilaporkan 96 kasus positif Covid-19, 4 diantaranya meninggal dunia, dan 8 dinyatakan sembuh (Kemenkes). Bahkan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, menjadi salah satu di antaranya.

Sebelum dikonfirmasi adanya kasus positif Covid-19 di Indonesia, muncul keraguan dunia international mengenai deteksi Covid-19 di Indonesia. Seperti Australia misalnya, mencurigai adanya underdetection case setelah salah satu penderita Covid-19 di sana memiliki riwayat bepergian ke Indonesia sebelum dikonfirmasi positif.

Begitu pula beberapa pakar Epidemiologi yang mengemukakan bahwa tidak ada negara yang bisa luput dari wabah ini berdasarkan perhitungan, mengingat Indonesia merupakan peringkat ke 4 dunia dalam hal jumlah penduduk.

Berdasarkan perhitungan, wabah Covid-19 akan mengalami puncak pada 60-80 hari setelah adanya konfirmasi kasus (sejak diumumkan kasus pertama). Cina telah berhasil melewati masa puncak tersebut, yang ditandai dengan penurunan jumlah pasien baru positif Covid-19, dari yang awalnya hingga 2000-an pasien baru per hari, saat ini menjadi hanya kurang dari 10 pasien baru per hari.

Hal ini dikarenakan adanya sikap antisipasi yang baik dari pemerintah, mulai dari melalukan lockdown daerah kasus terkonfirmasi, pembangunan rumah sakit darurat dalam waktu singkat, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan meliputi alat pelindung diri (APD), ventilator, dan lain sebagainya? Selain itu juga menjamin ketersediaan pangan bagi warga negaranya selama masa isolasi.

Saat ini Indonesia tengah bersiap untuk menjalani riwayat alamiah perjalanan Covid-19. Riwayat alamiah dalam hal ini berarti penyakit ini berjalan tanpa adanya intervensi manusia, mengingat regimen pengobatan yang pasti belum ditemukan, sehingga penyakit ini berjalan apa adanya tanpa adanya intervensi medis. Selain itu, penyakit karena virus juga dikenal memiliki sifat self-limited disease (sembuh dengan sendirinya) sehingga yang dapat dilakukan hanyalah mengobati gejala yang timbul.

Artinya, jika penderita demam maka diberikan penurun demam. Jika terjadi komplikasi Pneumonia (radang paru) yang menyebabkan gagal napas maka penderita dibantu dengan alat bantu napas (ventilator).

Masa puncak Covid-19 di Indonesia, diperkirakan akan terjadi di bulan Mei 2020, dimana jika tidak dilakukan antisipasi dini, maka diprediksi akan ada 4.000 kasus baru per hari nya.

Lantas bagaimana dengan kita yang tinggal khususnya di tanah Papua ini? Apakah kita siap melalui puncak wabah Covid-19?

Karena belum ditemukannya pengobatan definitif untuk infeksi Covid-19, sudah seharusnya kita melakukan pencegahan dini dengan maksimal. Seperti informasi preventif yang sudah beredar di masyarakat saat ini, yaitu dengan rajin mencuci tangan secara berkala, menjaga imunitas tubuh dengan makanan bergizi dan olahraga, dan sebagainya.

Namun yang tidak kalah pentingnya adalah dengan menghindari kontak, yang bisa saja tidak menunjukkan gejala flu, namun sebenarnya virus Covid-19 sudah ada di dalam tubuhnya (asimptomatik). Menghindari kontak adalah dengan cara melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah, tidak bepergian jika memang tidak ada hal yang sangat mendesak, atau mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.

Bahkan, alangkah baiknya, jika pemerintah memang memutuskan melakukan karantina mandiri atau isolasi di rumah sendiri untuk seluruh masyarakat di wilayah Indonesia, baik daerah yang sudah terkonfirmasi Coronavirus ataupun yang belum guna memperlambat penyebaran virus tersebut.

Memang bukan hal yang mudah bagi para pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan ini. Namun, jika dibandingkan dengan banyaknya korban yang diprediksi pada puncaknya nanti, baiknya pemerintah mulai memikirkan opsi tersebut.

Kita bisa bayangkan betapa repotnya jika ada kasus terkonfirmasi di Papua, bagaimana pengiriman sampel untuk diperiksa di Jakarta, yang pasti akan memakan waktu lebih daripada yang diharapkan. Apalagi menghadapi pasien-pasien dengan komplikasi Pneumonia yang membutuhkan ventilator. Sedangkan ketersediaan ventilator sendiri di RSUD yang ada belum cukup memadai untuk menghadapi wabah seperti ini.

Perlu juga dipikirkan jika anak-anak yang menjadi korban. Apakah kita sudah siap untuk mengahadapi wabah ini dengan keterbatasan kita di Papua?

Untuk itu, saya sangat menyarankan kepada pemerintah daerah (Pemda) baik di Provinsi Papua maupun kabupaten/kota, mulai memikirkan opsi isolasi atau karantina mandiri selama jangka waktu yang diperlukan. Misalnya, menyesuaikan dengan masa inkubasi virus atau lebih daripada itu (tergantung kemampuan pemerintah daerah dan pusat).

Artinya, seperti yang telah dilakukan Pemda Solo, DKI dan Jateng, Pemda di Papua juga harus berani mengambil kebijakan untuk meliburkan anak-anak sekolah maupun kegiatan perkuliahan, aktivitas kantor, atau kegiatan publik yang mengumpulkan banyak orang selama dua pekan atau satu bulan lamanya.

Selain itu, pemerintah tetap menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat, seperti supermarket atau pasar yang tetap dibuka untuk memenuhi kebutuhan pangan selama karantina mandiri ini dengan harga normal seperti biasa.

Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan kita di Papua, sekiranya karantina mandiri ini bisa menjadi solusi ampuh sekaligus mengingatkan masyarakat akan ancaman virus mematikan ini suatu waktu.

*Penulis Adalah Staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

Facebook Comments Box