Kamp penginapan para penambang emas ilegal di Kampung Kawe Distrik Awinbon Kabupaten Pegunungan Bintang (foto: Musa Abubar/ANTARA)

 

Tim Surveilans Dinas Kesehatan Papua dikirim ke Kawe, Pegunungan Bintang. Sebulan lalu, belasan warga Boven Digoel yang terkena Covid, dikabarkan tertular dari para penambang emas ilegal di wilayah Korowai, Selatan Papua ini.

Adalah Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, SE.MM, pada awal Juni 2020 lalu, memerintahkan Dinas Kesehatan Papua harus segera turun melakukan Rapid Test untuk memastikan kondisi ribuan penambang emas yang ada di sana.

Rabu, 24 Juni 2020, tim yang turun dipimpin Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinkes Papua, dr. Aaron Rumainum, M.Kes. Ikut bersama Aaron, Yusuf Wona dan Forki dari Dinkes Papua dan wartawan ANTARA Papua, Musa Abubar.

Pesawat Alda Air yang disewa membawa mereka ke Tanah Merah pada Rabu siang. Setelah tiba, mereka berkoordinasi dengan Koperasi Senggaup Maining, otoritas yang biasa mengurus keberangkatan para penambang emas dari Tanah Merah ke Kampung Kawe, Distrik Awinbon, Pegunungan Bintang.

Bertemu Ketua Koperasi Kawe Senggaup Minning Yusuf Penyo dan Kabid Marketing Koperasi, Demas Dombon yang memfasilitasi sekitar 30 maining di Kampung Kawe, Distrik Awinbon, Pegunungan Bintang di kantor.

Tim bertemu dengan Ketua Koperasi Kawe Senggaup Maining Yusuf Penyo dan Kabid Marketing Koperasi, Demas Dombon dari Suku Wambon untuk membicarakan wilayah yang akan kami datangi. Koperasi ini memiliki peran besar men-suplay kebutuhan ribuan orang belasan maining di Kampung Kawe, Distrik Awinbon, Pegunungan Bintang.

“Di Hotel Honai, Tanah Merah kami putuskan untuk berangkat ke Maining 33. Sebab kami sudah dapat informasi bahwa tim dari Boven Digoel sudah melakukan Rapid Test kepada 864 penambang di Pisang-Pisang, kemudian Pegunungan Bintang juga sudah lakukan Rapid Test 294 penambang di Kawe, maka dengan pihak koperasi kami sepakat lakukan Rapid Test di Maining 33,” kisah dr Aaron kepada papuabangkit.com melalui telepon selulernya, Sabtu, 4 Juli 2020.

Akses dari Tanah Merah lokasi Maining 33 ditempuh dengan helikopter selama 36 menit. Jika dengan longboat, bisa memakan waktu selama 1-2 hari dari Tanah Merah ke Pisang-Pisang. Kemudian, lanjut jalan kaki satu hingga dua hari lamanya untuk menjangkau lokasi tambang di Mining 33.

Tiba di lokasi penambangan dengan Helikopter. Butuh waktu 36 menit untuk tiba di sana.

“Keesokan harinya, Kamis, 25 Juni 2020 kami berangkat ke sana ditemani dua pengurus koperasi. Saat tiba, kami menemui Tuan Dusun. Diputuskan, kami akan lakukan Rapid Test pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu untuk Mining 33 dan beberapa mining di sekitarnya seperti Mining Kali Fer, Mining 85 dan Mining 96,” tuturnya.

Di Mining 33, terdapat 133 penambang emas. Sama seperti lokasi lainnya, para penambang emas di wilayah Korowai ini berasal dari berbagai penjuru nusantara. Ada yang dari suku asli setempat, sebagian dari wilayah Dani dan Lani, juga banyak yang dari luar Papua seperti orang Toraja, Makassar dan Jawa.

“Hari Jumat kami Rapid Test 133 di Maining 33. Esoknya ada 80 lagi yang datang dari maining terdekat. Demikian pun Minggu ada sekitar 40-an. Nah pada hari Minggu, ada seorang pasien asal Toraja Musa Toding, yang dibawa dua jam ke tempat kami. Dia ditandu oleh 7 orang temannya dengan riwayat sesak nafas. Kita sempat infus dia dua kali tapi gagal, dan kita ambil darah untuk Rapid Test, rupanya dia negatif. Tiga jam kemudian dia meninggal dan dikuburkan di situ. Ternyata dia kena malaria,” tutur Aaron yang juga Wakil Juru Bicara Satgas Covid-19 Provinsi Papua ini.

Para penambang emas di Maining 33 saat bersiap menguburkan salah satu rekannya yang meninggal, Musa Toding.

 

Setelah kasus seorang penambang liar yang meninggal, ada lagi kasus seorang penambang asal Makassar yang memiliki keluhan yang sama. Kata Aaron, ia sesak nafas, kaki kram dan tak bisa jalan. Tim lalu melakukan Rapid Test. Hasilnya sama, non reaktif. Tetapi setelah diambil darah untuk periksa malaria, rupanya ia positif terkena malaria tertiana.

Di lokasi Maining 33 tempat mereka menginap, nyamuk agak berkurang. Maklum. Hutan sudah ditebang. Nyamuk umumnya paling banyak di penambangan emas yang jaraknya sekitar 30 menit jalan kaki dari kamp penginapan para penambang.

“Dari total 253 penambang, hanya 4 orang yang reaktif yaitu 1 dari Maining 33, dan 3 dari Minning 96. Mereka semuanya dari Suku Dani. Tapi mereka sehat-sehat, tak ada keluhan sakit. Kita kasih obat Imboost dan vitamin, dan anggap mereka sehat saja,” tutur Aaron.

Dokter Aaron Rumainum bersama penambang emas yang menderita kaki gajah.

 

Menurut Aaron, sebanyak 17 kasus positif Covid di Boven Digoel sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tambang. Tetapi pada kasus 1 dan kasus 2, pasien itu melakukan perjalanan dari Kendari ke Makassar lalu menggunakan pesawat ke Merauke. Di situ sumber penularannya.

“Jadi pasien positif di Boven pertama itu tertular dari pesawat bersama dengan pasien positif di Merauke saat datang dari Timika melalui Jayapura. Jadi kemungkinan orang Boven Digoel itu tertular dalam pesawat, bukan dari penambang,” katanya.

Kemudian, kedua pasangan suami istri dari Boven Digoel ini tiba di daerah bernama Pisang-Pisang. Tempat ini menjadi tempat transit para penambang yang datang dari Tanah Merah dengan loangboat untuk selanjutnya menuju ke berbagai lokasi penambangan dengan berjalan kaki.

Aktivitas penambangan tradisional yang tengah dilakukan para penambang emas.

 

Di Pisang-Pisang, berdiri sejumlah kios untuk menjual kebutuhan barang kelontongan. Juga tersedia WIFI untuk jaringan telepon yang ditukar dengan emas.

“Jadi kasus positif Covid ketiga, keempat dan kelima di Boven Digoel juga terjadi di Pisang-Pisang itu, bukan di lokasi tambang. Dan yang kena juga ialah ada sekitar 3 motoris longboat itu. Nah kasus selanjutnya, mereka yang dari tambang ini saat pulang ke Tanah Merah singgah di Pisang Pisang baru kena. Jadi bukan dari daerah tambang,” tegas Aaron.

Aaron menguraikan, sebenarnya tak ada klaster tambang emas Kawe dalam kasus Covid di Boven Digoel. Sebab sumber penularan sesungguhnya bukan dari para penambang. Masalah kesehatan yang umumnya menimpa para penambang dalam pengamatannya selama tinggal sepekan di sana ialah malaria.

“Ini juga sesuai pengakuan pemilik Apotik di samping hotel Honai Tanah Merah. Rata-rata mereka yang keluar dari tambang itu pasti beli obat malaria. Bahkan penambang yang meninggal itu rata-rata karena malaria. Jadi yang kena Covid itu pengusaha kios-kios di Pisang-Pisang dan  pemilik Loangboat yang kena,” tegasnya.

 

Gairah Ekonomi Sangat Tinggi

Dokter Aaron bersama tim kesehatan berada di lokasi penambangan selama enam malam. Waktu yang cukup baginya untuk melihat kondisi kesehatan bagi sekitar enam ribuan penambang di sana. Baginya, masalah Covid tak perlu dikuatirkandi daerah tambang. Rata-rata para penambang menderita malaria dan kaki gajah.

Dokter Aaron saat mengambil sampel darah salah seorang penambang untuk Rapid Test. (Foto: Musa Abubar/ANTARA)

 

“Fisik mereka terlalu kuat untuk ditembusi Covid-19, lebih kuat dari tenaga kesehatan di rumah sakit, Puskemas atau Dinkes. Bahkan, lebih kuat dari prajurit. Mereka itu gila fisiknya, pikul alkon atau barang 40 kg naik akar akar kayu, lumpur dan panjat tebing,” lanjutnya.

Sepekan berada di sana, Aaron melihat ada sisi positif dari penambangan emas ilegal di wilayah Korowai ini. Pertumbuhan ekonomi berjalan baik. Lokasi tambang yang terbuka memberi akses masuk bisa melalui tiga pintu. Bisa dari Tanah Merah, bisa dari Seradala, Yahukimo, bisa dari Mabul, Asmat.  Bergantian naik ketinting dan jalan kaki untuk menempuh lokasi ini. Wilayah ini secara administrasi milik Kabupaten Pegunungan Bintang.

Untuk menuju penambangan emas ini, harus melalui Koperasi Kawe Senggaup Maining. Tiba di sana, para penambang akan melapor ke Tuan Dusun. Tuan Dusun ini memiliki otoritas untuk menentukan, apakah bisa diterima atau tidak untuk bekerja di sana sebagai penambang emas dengan sejumlah aturan yang harus dipenuhi.

Dokter Aaron Rumainum ketika ikut mencoba mendulang emas Maining 33, Kampung Kawe.

 

Di satu maining terdapat ratusan orang yang terbagi ke dalam puluhan grup. Setiap grup memiliki koordinator yang setiap minggu, wajib menyetor beberapa persen dari hasil emas yang didulangnya kepada Tuan Dusun. Tuan Dusun adalah para pemilik Hak Ulayat yang ada di wilayah itu. Jika dilanggar, maka para penambang akan diusir keluar dari lokasi.

“Saya melihat ada asas keadilan dan ada dampak positifnya bahwa ekonomi di sana benar-benar. Mau dia penjahat ka, pencuri ka,kalau  dia datang kerja di penambangan, dia bisa hidup. Semua orang di penambangan tiap hari harus kerja. Tidak kerja, tidak dapat emas. Rata-rata mereka keluar pagi dan pulang jam tiga sore. Ada yang pakai kuali, ada yang pakai alkon,” kata Aaron.

Aturan lain yang ditetapkan Tuan Dusun, para penambang tidak boleh memasok minuman keras, perempuan dan mercuri atau air raksa ke lokasi tambang. Selain itu, tak semua kali didulang. Ada kali yang menjadi tempat untuk mandi dan mencuci.

Aturan yang dikeluarkan pihak Koperasi dan Tuan Dusun yang wajib diikuti para penambang emas di Maining 33.

 

Untuk menyuplai kebutuhan bahan makanan, Koperasi Kawe Senggaup Maining dan para pengusaha membuka kios di Maining 33. Di sana tersedia beras pilihan seperti Putri Thailand dan Betet, Sarimi, minyak goreng, sarden, kopi, gula, susu, rokok, sabun dan obat-obatan. Hasil penjualan dari kios, Tuan Dusun juga masih mendapat persen lagi.

“Uniknya di sini tak ada transaksi uang. Semua barang kebutuhan dibarter dengan emas hasil dulangan. Beras 10 kilogram dijual koperasi dengan 8 gram emas. Sarimi 1 karton 2 gram emas. Minyak goreng 5 liter diganti dengan 4 gram emas,” tutur Aaron.

Harga 1 gram emas murni di lokasi penambangan dibanrol senilai Rp 500 ribu. Di Tanah Merah, lebih mahal sedikit, Rp 600 ribu. Sementara di Jayapura seharga Rp 1 juta.

Kios berisi barang kebutuhan yang dijual koperasi di kamp penambang emas Maining 33.

 

“Dan para pengusaha juga ada siapkan WIFI untuk jaringan telepon dan internet.   Paket data 600 MB ditukar dengan 1 gram emas untuk masa tiga hari pakai. Nilai uang benar-benar tak ada artinya karena emas,” katanya.

Di lokasi penambangan ini, malam tampak terang laksana kota. Listrik dari mesin genzet menyuplai penerangan ke semua kamp atau barak-barak bertenda biru. Jika mereka mau pulang, dan tidak ingin berjalan kaki menuju Pisang-Pisang untuk selanjutnya dengan loangboat ke Tanah Merah, mereka bisa naik helikopter yang datang menyuplai kebutuhan.

“Kalau carter helikopter sekali terbang dari Tanah Merah ke Maining 33 biayanya Rp 48 juta. Kalau pendulang yang mau turun ke Tanah Merah dengan helikopter, bayar 3 gram emas per orang,” katanya.

Aaron menilai, sistem dan aturan penambangan emas yang ada di Kawe ini cukup baik untuk menghidupkan ekonomi masyarakat di wilayah itu. Sekitar ada 17 lokasi penambangan emas di Korowai. Lokasi itu tersebar di Pegunungan Bintang, Yahukimo, Asmat, Mappi, dan Boven Digoel. Adapun areal penambangan terbesar berada di Bravo Tujuh, Pisang-Pisang, dan Kawe.

“Hanya usul saja, jangan dibuang sampah ke kali. Atau dibakar. Semua mereka hidup berdampingan. Semua bahagia. Setiap orang pasti dapat emas yang penting rajin bekerja,” tutupnya. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box